Masjid Al-Ikhlas
Home » , » Lafadz Niat Puasa Ramadhan: Ramadhani dan Ramadhana

Lafadz Niat Puasa Ramadhan: Ramadhani dan Ramadhana

Berbeda dengan di pedesaan yang cenderung homogen dalam membaca lafadz niat puasa Ramadhan, di perkotaan lafadz niat puasa Ramadhan terdapat beberapa varian. Perbedaan bacaan niat puasa ini membuat kita yang awam bertanya-tanya mana yang benar atau tepat. Berikut ini pembahasan bagaimana cara membaca lafadz ramadhan pada niat puasa sesuai yang saya pelajari.

SEHARUSNYA DIBACA RAMADHANI

Di dalam kitab I’anatu at-Thalibin, juz 2/253, dijelaskan sebagai berikut:

يُقْرَأُ رَمَضَانِ بِالْجَرِّ بِالْكَسْرَةِ لِكَوْنِهِ مُضَافًا إِلَى مَا بَعْدَهُ وَهُوَ إِسْمُ اْلإِشَارَة

Ramadhani dibaca jar dengan KASRAH karena statusnya menjadi mudhaf kepada kalimah setelahnya yaitu isim isyarah.

Lafadz Niat Puasa Ramadhan: Ramadhani dan Ramadhana

Kata Ramadhan dalam bahasa Arab termasuk isim ghairu munsharif, isim yang memiliki dua illat, yang menyebabkan sifat keisimannya lemah dan lebih cenderung mirip fi'il sehingga tercegah dari tanwin. Di sini Ramadhan memiliki dua illat, yaitu isim alam dan ziyadah atau tambahan alif nun di belakang, yang apabila dalam kondisi i'rab jar, maka alamatnya menggunakan FATHAH menjadi RAMADHANA. 

Namun, ketika isim ghairu munsharif menjadi mudhaf, yaitu disandarkan atau diidhafahkan kepada lafadz setelahnya, atau dia kemasukan Alif-Lam (ال), maka sifat keisimannya menjadi kuat, sehingga dia menjadi munsharif, yang tanda i'rab jarnya menggunakan KASRAH. Jadi lafadz Ramadhani dibaca jar dengan KASRAH karena statusnya menjadi Mudhaf kepada kalimat setelahnya yaitu isim isyarah, sesuai kata Imam Ibnu Malik di dalam bait Alfiyahnya:

وَجُرَّ بِالْفَتْحَةِ مَا لاَ يَنْصَرِفْ * مَا لَمْ يُضَفْ أَوْ يَكُ بَعْدَ أَلْ رَدِف

"Dan dijarkan dengan FATHAH terhadap isim yang tidak menerima tanwin (Isin Ghairu Munsharif), selama tidak dimudhafkan atau berada setelah AL (ال) yang mengiringinya."

Dalam al-Baijuri dijelaskan:

قوله : (رمضان هذه السنة) باضافة رمضان الى اسم الاشارة لتكون الاضافة معينة لكونه رمضان هذه السنة  البيجورى ١/٤٣٠

Dalam kitab Nihayatuz Zain:

نويت صوم غد عن اداء فرض رمضان هذه السنة لله تعالى ايمانا و احتسابا باضافة رمضان الى ما بعده لتتميزعن اضدادها و يغنى عن ذكر الاداء ان يقول عن هذا الرمضان و احتيج لذكره مع هذه السنة و ان اتحد محترزهما اذ فرض غير هذه السنة لا يكون الا قضاء لان لفظ الاداء يطلق ويراد به الفعل كذا قاله الرملى نهاية الزين ١٨٦

Kewajiban dalam niat adalah ta'yin, sehingga dengan demikian perlu ada kata pembatas, yakni hadzihis sanati yang dimudhofkan dengan lafadz ramadhan dengan faedah tamyiz (pembeda).

Setiap Isim Isyārah pasti memiliki musyārun ilaihi. Susunan isim isyārah+musyār ilaih bukanlah susunan iḍāfah (muḍāf+muḍāfun ilaih) sebagaimana sering disalahpahami. Isim isyārah+musyār ilaih  yang musyār ilaih-nya ma'rifat dengan AL-, maka membentuk susunan frasa isyariy, yaitu frasa dengan sebagai unsur pusat musyār ilaih berupa nomina (isim) dengan AL, dan didahului isim isyārah sebagai atributnya. Musyār ilaih yang ma'rifat dengan AL terkena kaidah:

مُعَرَّفٌ بَعدَ إشَارَةٍ بِأَلْ # أُعْرِبَ نَعْتًا أَوْ بَيَانًا أَوْ بَدَلًا

Isim yang dima’rifatkan dengan menggunakan alif-lam (الْ) apabila jatuh setelah isim isyārah, maka i’rābnya ditentukan sebagai na’at, ‘athaf bayan, atau badal. Jadi, musyār ilaih selalu dii'rabi menjadi tawābi' atau pengikut dari isim isyārahnya.  Itulah alasan mengapa assanah dibaca jerr, karena dia mengikuti isim isyarahnya yang mahal jerr menjadi mudhaf ilaih.

Jadi redaksi niat puasa Ramadhan yang benar sebagaimana dalam kitab I’anatu at-Thalibin: 

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هَذِهِ السَّنَةِ فرضا لِلّه تَعَالَى

Nawaitu shauma ghadin ‘an adai fardhi syahri ramadhani hadhihis-sanati lillaahi ta’ala.

Yang kalau diterjemahkan adalah: "Aku niat puasa besok untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan dari tahun ini fardhu karena Allah ta'ala."

BAGAIMANA JIKA DIBACA RAMADHANA?

Apabila lafadz Ramadhan dibaca Fathah (RAMADHANA), maka itu artinya lafadz Ramadhana tidak diidhafahkan kepada lafadz setelahnya yaitu lafadz HADZIHI. Menurut pendapat yang melakukan al-qath'un (pemutusan), lafadz RAMADHAN tidak bisa idhafahkan kepada lafadz setelahnya itu karena isim alam tidak bisa diidhafahkan, sehingga dilakukan qath'u atau pemutusan dari lafadz sebelumnya. Lafadz HADZIHI dibaca nashab atas al-qath'u tersebut. Dalam kitab Kasyifatussaja halaman 7 dijelaskan:

(تنبـيه)

 اعلم أن رمضان غير منصرف للعلمية إلا إن كان المراد به كل رمضان من غير تعيـين وإذا أريد به ذلك صرف لأنه نكرة، وبقاء الألف والنون الزائدتين لا يقتضي منعه من الصرف كما قال الشرقاوي

‎( قَوْلُهُ : بِإِضَافَةِ رَمَضَانَ ) أَيْ لِمَا بَعْدَهُ فَنُونُهُ مَكْسُورَةٌ ؛ لِأَنَّهُ مَخْفُوضٌ وَإِنَّمَا اُحْتِيجَ لِإِضَافَتِهِ إلَى مَا بَعْدَهُ ؛ لِأَنَّ قَطْعَهُ عَنْهَا يُصَيِّرُ هَذِهِ السَّنَةَ مُحْتَمَلًا لِكَوْنِهِ ظَرْفًا لِقَوْلِهِ : أَنْ يَنْوِيَ وَلَا مَعْنَى لَهُ ؛ لِأَنَّ النِّيَّةَ زَمَنُهَا يَسِيرٌ ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ : إنْ جَرَرْت رَمَضَانَ بِالْكَسْرِ جَرَرْت السَّنَةَ وَإِنْ جَرَرْته بِالْفَتْحِ نَصَبْت السَّنَةَ وَحِينَئِذٍ فَنَصْبُهَا عَلَى الْقَطْعِ ، وَعَلَيْهِ فَفِي إضَافَةِ رَمَضَانَ إلَى مَا بَعْدَهُ نَظَرٌ ؛ لِأَنَّ الْعَلَمَ لَا يُضَافُ فَلْيُتَأَمَّلْ ا هـ

Dengan demikian i'rab lafadz assanah yang menjadi musyār ilaih adalah nashab mengikuti i'rab hadzihi yang mahal nashab, sehingga dibaca assanata. Lengkapnya adalah:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةَ فرضا لِلّه تَعَالَى

NAWAITU SHAUMA GHADIN ‘AN ADAI FARDHI SYAHRI RAMADHANA HADHIHIS-SANATA FARDHAN LILLAAHI TA’ALA.

Menurut Kitab I'anah, bila dilakukan pemutusan, lafadz HADZIHI secara ilmu nahwu seharusnya menjadi zharaf, yang harus dibaca nashab. Apabila zharafnya berupa isim yang mabni seperti HADZIHI yang merupakan isim isyarah, maka ia tidak memiliki tanda i'rab, namun mahalnya atau kedudukannya tetap nashab. 

Lafadz HADZIHIS SANATA berstatus sebagai zharaf lafadz nawaitu, yang menunjukkan waktu dilaksanakannya suatu pekerjaan yang dalam hal ini pekerjaannya adalah niat atau puasa. Konsekuensi memakai redaksi ramadhana ini adalah terjadi perubahan makna menjadi sebagai berikut: 

"Aku niat puasa besok, untuk melaksanakan kewajiban bulan Ramadhan, selama tahun ini."

"Selama tahun ini" menjadi keterangan waktu bagi kalimat 'saya niat'. Maka maknanya fasid (rusak), menjadi sia-sia berdasarkan kenyataannya bahwa niat hanya butuh (zharaf) waktu sekejap pada malam dia niat, bukan setahun. Demikian halnya puasa hanya butuh beberapa jam tidak sampai satu tahun. 

I'anah menjelaskan:

قال فی التحفة  واحتيج لاضافة رمضان الی ما بعده لأن قطعه عنها يصير هذه السنة محتملا  لكونه ظرفا لنويت  فلا يبقی له معنی فتأمله فانه مما يخفی 

Dia berkata dalam al-Tuhfah, diperlukan memudhafkan lafadz Ramadhan pada apa yang datang setelahnya, karena bila memotongnya dari lafadz setelahnya, maka membuat lafadz  "هذه السنة" menjadi muhtamal (ambigu, taksa, memiliki kemungkinan makna lebih dari satu) karena keadaannya sebagai zharaf untuk lafadz nawaitu, maka tidak tersisa makna bagi lafadz itu (jadi sia-sia, tidak ada artinya lagi). Jadi renungkanlah, karena ini sesungguhnya termasuk yang tersembunyi (sering terlewati dalam pembahasan).

I'rab lafadz niat puasa Romadhon:

نويتُ صومَ غدٍ عن أداءِ فرضِ شهرِ رمضانِ هذه السنةِ لله تعالى نويتُ : فعل وفاعل؛ صومَ : مفعول به منصوب، وعلامة نصبه فتحة؛ غدٍ : مضاف إليه مجرور، وعلامة جره كسرة؛ عن : حرف جر مبني على السكون؛ أداء : مجرور بِعَنْ، وعلامة جره كسرة، وهو مضاف لما بعده؛ فرض : مضاف إليه مجرور، وعلامة جره كسرة، وهو مضاف أيضا لما بعده؛ شهر : مضاف إليه مجرور، وعلامة جره كسرة، وهو مضاف أيضا لما بعده؛ رمضان : مضاف إليه مجرور، وعلامة جره كسرة، وهو مضاف أيضا لما بعده؛ هذه : اسم إشارة مبني في محل جر بالإضافة، وعامل جر المضاف إليه: قيل المضاف، وقيل الإضافة، وقيل حرف الجر المحذوف، وقيل غير 


Yang lebih salah lagi adalah redaksi niat yang banyak terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu :
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ  لِلّه تَعَالَى
Pada lafadz Romadlon dibaca ROMADHONA (NA) sementara pada lafadz Hadzihis sanah dibaca HADZIHIS SANATI (TI), ini secara ilmu gramatika bahasa Arab tidak ada jalurnya (kejanggalan hadzihi menjadi jerr).

BAGAIMANA HUKUM PUASANYA JIKA BACAAN NIATNYA SALAH?

Apabila diucapkan, maka niat hendaknya tidak keliru dalam i’rab. Namun, tidak ada konsekuensi ketika dibaca romadhona atau romadhoni, kecuali bahwa si pengucap bisa dikategorikan kurang fasih karena tidak bisa mendatangkan lafadz sesuai makna yang dikehendaki  (dalam bahasa Jawa: nyulayani ilmu ma'ani). 

Niat dan puasanya tetap SAH walaupun terjadi kesalahan dalam membaca lafadz niatnya, selama yang dikehendaki dengan HADZIHISSANATI adalah bulan Ramadhan tahun ini, karena letak niat itu ada di dalam hati, sebagaimana shalat Zhuhur dengan mengucapkan redaksi niat shalat Ashar akan tetapi niatnya dalam hati adalah shalat Zhuhur maka juga SAH sebagai shalat Zhuhur. 
Wallahu a'lam bishshawab.

Sumber: 
Grup PISS KTB https://play.google.com/books/reader?id=GMZQCwAAQBAJ&pg=GBS.PA2240

0 comments:

Posting Komentar