Masjid Al-Ikhlas
Home » » KH. Muhammad Sholeh, Kyai Welas Asih Pendiri Ponpes Attanwir

KH. Muhammad Sholeh, Kyai Welas Asih Pendiri Ponpes Attanwir

Kiai Haji Muhammad Sholeh adalah putra kedua dari sembilan bersaudara yang lahir dari pasangan Syarqowi bin Syuro dan Kuning. Beliau dilahirkan pada 20 Februari 1902. Kesembilan bersaudara itu Ya’qub, Muhammad Sholeh, Siti khatimah, Syamuri, Khusnan, Thohirah, Muslih, Ummi Kultsum dan Mukri.



Sejak usia 10 tahun, beliau dan Syamuri diasuh pamannya, H Idris, adik dari Syarqowi (Ayah KH M Sholeh). Karena pada saat itu H Idris dan Istrinya, Mursinah, tidak mempunyai anak. Pada tahun 1914, KH M Sholeh belajar pada Kyai Umar yang pada waktu itu menjabat sebagai naib di Sumberrejo.

Tahun berikutnya 1915, beliau meneruskan belajarnya di Pondok Pesantren Kendal Dander yang diasuh Kyai Basyir dan Kyai Abu Dzarrin, selama 8 bulan.


Pada tahun 1916, beliau pindah ke Madrasatul ‘Ulum di Bojonegoro selama 4 tahun, di kawasan masjid besar. Di situ beliau diasuh Kyai Basyir Kendal yang waktu itu harus pindah ke Bojonegoro karena diangkat menjadi penghulu hakim oleh Pemerintah.


Di Madrasatul ‘Ulum KH M Sholeh belajar ilmu fiqih dengan mengkaji kitab, seperti Sulam Taufiq, Fathul Qorib dan Fathul Mu’in. Serta ilmu nahwu dengan mengkaji kitab, seperti Aj-jurumiyah hingga Alfiyah dan tidak ketinggalan pula ilmu Shorof dan lain-lain. Selama belajar di sana beliau setiap hari pulang pergi dengan naik kereta api. Dan beliau juga sempat belajar pada KH Kholil Bangkalan Madura.


Selanjutnya pada tahun 1921, beliau mondok di Maskumambang Dukun Gresik, di pesantren yang diasuh KH Faqih bin KH Abdul Jabbar. Pada tahun 1923, saat beliau berusia 21 tahun, beliau menunaikan haji yang pertama dan berencana mondok di Makkah selama 2 tahun. Namun, baru 8 bulan di Makkah ternyata ada hambatan.


Kota Makkah yang saat itu dipimpin oleh Syarif Husain, mendapat serangan dari Raja Saud. Akhirnya KH M Sholeh pun kembali pulang ke Jawa dan meneruskan mondok di Maskumambang Dukun Gresik hingga tahun 1927.

Pada pertengahan tahun 1924, beliau diambil menantu KH Faqih Maskumambang untuk dinikahkan dengan keponakannya sendiri, Rohimah binti KH Ali yang merupakan adik dari KH. Ma'shum Aly ( ahli falak menantu KH. Hasyim Asy'ari ) dan KH. Adlan Aly ( pendiri ponpes walisongo cukir ). Kemudian setelah menikah, di tahun 1927 beliau dan istrinya pulang ke Desa Talun, Kecamatan Sumberrejo, Bojonegoro. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai dua orang anak yaitu Sahal Sholeh dan Anisah.


Tahun 1933 setelah rumah tangga dan kehidupan keluarga tertata, maka KH. Sholeh mulai memikirkan dan merintis kegiatan mengajar anak-anak di musholla yang telah dipersiapkan, dimulai dari mengajar membaca Al Quran, tulis munulis huruf arab, cara-cara beribadah dan sebagainya, waktu belajar sore hari, mulai ba`dal Ashar hingga Isya’ pada setiap hari.


Pada tanggal 20 Januari 1934, istri KH M Sholeh, Nyai Rohimah wafat di Desa Talun dan di makamkan di Dusun Sedayu, Kabupaten Gresik. Saat itu anak keduanya Anisah baru berumur 16 bulan. Beberapa tahun setelah ditinggal wafat istrinya, KH M Sholeh menikah lagi dengan Mukhlisoh (janda KH Mahbub), ibu dari H Badawi Mahbub Jombang.


Kegiatan mengajar tetap dilakukan seorang diri dengan penuh ketelatenan, keuletan dan kesabaran serta keikhlasan. Setelah beberapa waktu berjalan, alhamdulillah hasilnya mulai tampak, kalau semula yang belajar hanya anak-anak desa Talun yang jumlahnya kurang dari 10 anak, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, anak-anak dari desa sekitarnya mulai berdatangan ikut belajar hingga jumlahnya mencapai 40 anak lebih dan tidak ketinggalan para orang tua mereka juga mulai banyak yang datang untuk belajar atas kesadaran sendiri.


Tahun 1938 (dengan pertimbangan) karena persyaratan telah terpenuhi, maka di adakan jamaah sholat Jum’at yang pembukaannya di hadiri oleh KH. Hasyim (penghulu di Bojonegoro waktu itu) dan sekaligus memberikan nasehat/ mauidloh kepada para jamaah setelah usai sholat Jum’at.


Hasilnya sangat menggembirakan, mereka tampak makin bersemangat dan tekun beribadah dan jumlahnya semakin bertambah banyak, sedang sarananya masih sangat terbatas perlu juga di sebutkan, bahwa perkembangan pesantren yang tampak menggembirakan itu bukan berarti tidak ada hambatan, justru hambatan pertama datang dari kepala desa Talun sendiri, dia sangat tidak senang melihat perkembangan pesantren dia orang abangan, dia sering mendatangi rumah KH. Sholeh, hanya perlu mengajak debat masalah agama dan setiap debat dia selalu tidak pernah menang, akhirnya dengan ma’unah dan hadayah Allah SWT. dia sadar serta meninggalkan kepercayaan yang lama dan menyatakan memeluk agama Islam. Alhamdulillah.


Sejak sa’at itu sang Kepala Desa selalu mendekat kepada H. Sholeh dan minta di ajari keimanan dan tata cara beribadah, akhirnya dia menjadi seorang pemeluk agama Islam yang ta’at dan tekun beribadah serta suka berkorban demi kepentingan agama.


Makin lama jumlah penduduk Islam semakin bertambah banyak sejalan dengan bertambahnya penduduk, akibatnya Musholla yang di tempati belajar mengajar dan berjama’ah sudah tidak mampu menampung mereka yang jumlahnya setiap waktu makin bertambah. Melihat kenyataan ini, maka Kepala Desa membeli sebuah rumah dari kayu jati dengan ukuran lebih besar dan selanjutnya diwakafkan untuk Masjid, sedang mushola yang digunakan tempat mengajar dan asrama santri putra.

Sementara kegiatan belajar mengajar masih berjalan sebagaimana biasa, yaitu dengan sistem weton dan sorogan dan hanya ditangani sendiri oleh KH. Sholeh.


Sejalan dengan perjalanan waktu, jumlah santri pun bertambah banyak, tidak hanya santri putra saja, santri putri pun jumlahnya semakin banyak dan diantaranya mereka ada yang datang dari luar desa/ daerah, maka terpaksa harus menyediakan kamar/ gotakan untuk tempat mereka. Demikian juga tenaga pengajar pun ditambah, untuk itu, Ustad Asnawi dan Sarbini ditugasi untuk membantu mengajar mereka.

Kegiatan tersebut berjalan sesuai dengan kondisi yang ada, dengan segala keterbatasan dan kekuranganya, terus berusaha untuk memenuhi harapan dan kebutuhan umat. Dalam perkembangannya, Pondok Pesantren Attanwir berupaya menyesuaikan diri dengan perkembangan dunia modern, tanpa meninggalkan ciri khas sebagai lembaga pendidikan pesantren yang islami bercorak Ahlus Sunnah Wal Jamaah.


Tahun 1976, KH M Sholeh menunaikan ibadah haji untuk yang kedua kalinya disertai Nyai Mukhlishoh. Namun, pernikahan kedua ini belum sampai dikaruniai anak karena Nyai Hj Mukhlishoh terkena sakit dan akhirnya wafat pada 18 Februari 1992, mendahului beliau KH M Sholeh. Namun tak lama kemudian pada 26 Juni 1992 beliau juga wafat.


Menurut HM Rafiq Sahal, cucu dari Almaghfurlah K.H. M. Sholeh, beliau adalah seorang pemimpin yang perlu diteladani, khususnya istiqomahnya dalam mendidik agama kepada santri dan masyarakat, beliau sosok seorang yang teguh pendiriannya serta bersifat welas asih.


Beliau menambahkan, dulu Mbah Sholeh (sapaan akrab K.H. M. Sholeh) sosok seorang yang aktif dalam berorganisasi, termasuk beliau pernah mewakili muktamar alim ulama di Jakarta. Beliau juga aktif mengikuti perkembangan informasi siaran radio luar negeri, seperti ABC Australia, BBC London dan VOA Amerika.


Sementara itu, Ustad Harsono, salah satu murid dari KH Muhammad Sholeh, mengaku kagum dengan sosok Almaghfurlah K.H. M. Sholeh atau yang akrab dipanggil dengan Mbah Sholeh, terutama karena kesungguhan beliau dalam mengajarkan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah. Bersungguh-sungguh dalam menentang ajaran yang menyimpang. Juga bermujadalah (adu argumentasi) dengan orang-orang yang tidak sefaham.


“Dulu semasa Mbah Sholeh masih hidup, beliau pernah diajak untuk mengikuti perkumpulan KHI atau Kompilasi Hukum Islam di Jakarta, yang waktu itu Mbah Sholeh juga terlibat dalam terwujudnya KHI Indonesia,” tambah Ustad Harsono.


Mbah Sholeh itu mungkin satu satunya orang yang jika ditanya langsung ditulis. Dari tulisannya tersebut kemudian dikumpulkan menjadi kitab “Arrisalah Assyafiyah”, di samping juga menulis belasan kitab yang lain. Beliau juga tidak suka membedakan kepentingan dunia dan akhirat.

“Artinya tidak melarang kepentingan duniawi, tidak melarang orang punya jabatan, yang terpenting bisa diarahkan kepada akhirat. Itulah salah satu prinsip yang sampai saat ini masih beliau ingat,” terangnya.

0 comments:

Posting Komentar