"INI PENTING SAYA UTARAKAN"
Mengapa tidak SELATAN-kan? Ini selingan saja, nggak usah serius 😆PEMAKAIAN DAN ETIMOLOGI
Pemakaian "utara" vs "selatan"Ada budaya2 - termasuk budaya Nusantara - yg hanya memakai orientasi dua arah (berdasarkan letak geografisnya):
misal:
arah Gunung/Darat vs Laut
(budaya pulau2 daerah timur Indonesia masih kental sekali dengan orientasi ini: misal di Seram, Bali)
lor vs kidul
Masyriki vs Maghrib
Keunikan dua orientasi ini.
Di Jawa:
arah Lor (arah laut, lwar, akhirnya menjadi ke luar) vs Kidul (kidwal, kedol, kedual, ke jual/ke perdagangan/arah darat, akhirnya menjadi dalam?)
bentukan ini bisa jadi terbalik
Gus Baha': "Ini Penting Saya Utarakan" |
Misal di Bali:
arah kaja (menuju gunung) vs kelod (menuju laut, lod dalam Jawa Kuno artinya laut)
orientasi (dunungnya) adalah Gunung Agung
Maka bagi orang Bali bagian selatan, kaja adalah "utara"
Tapi bagi masyarakat Bali utara, kaja adalah "selatan"
kelod sebaliknya
Uttara berasal dari Ud-tri+a, artinya menyeberang, atau melewati
Mungkin pemakaian kata utara berkaitan dgn itu.
BENTUKAN
UNGKAPAN yang sama bentuknya:"meng-utara-kan"
"meng-ke-tengah-kan/mengetengahkan"
"meng-ke-muka-kan/mengemukakan"
"meng-ke-depan-kan/mengedepankan"
dll
MAKNA
Ungkapan "mengutarakan" ini mengandung arti "membuat sesuatu menjadi (di) utara", "mengirim/membuat sesuatu ke utara", "menyampaikan/membuat sesuatu jadi sampai"Dengan demikian, juga mengandung arti "meletakkan sesuatu pada tempatnya"
Ada makna "adil" di situ, yaitu "meletakkan segala sesuatu pada proporsinya/tempatnya"
Ungkapan bahsa Jawa yang mengandung makna "adil" mirip dengan kata "mengutarakan" adalah "ndunungke" atau "mrenahke".
Kamus Jawa Kuna-Indonesia karangan Prof. Zoetmulder menyebutkan entri sebagai berikut:
utara*
aŋutara, inutara: membawakan, menceritakan
sebagaimana
dalam Kidung Harsawijaya (C.C. Berg 1931):
menmen amacaŋah sumelan aris lagy aŋutara basa ramya niŋ tontonan ran paligaran
dalam Tantri (Demuŋ):
lan utaranen si pukulan
RELEVANSI
Pembahasan di atas banyak ngawurnya. Pembahasan ngawur di atas hanya untuk menunjukkan bahwa betapa susahnya "mrenahke" suatu kata yang kita pakai sendiri. Apalagi bahasa yg dipakai Al-Quran.Gus Baha' menjelaskan bagaimana Imam Suyuthi menjelaskan kesulitan-kesulitan yang terjadi pada zhahirnya ayat. Imam Suyuthi mengurai ayat-ayat yang zhahirnya bertentangan (tanaqudh) dalam kitab Al-Itqan bab muhimilikhtilaf (sering dipelajari berulang-ulang oleh Gus Baha').
***
PEMBAHASAN BAB MUHIMIL IKHTILAF
Jadi apakah bahasa yang kita kenali sekarang ini bahasa yang sama dengan dikehendaki oleh Allah? Kita tidak pernah tahu.Misalnya:
"ustadz juga manusia" vs "ulama fasih yg tidak terpengaruh siapa penonton yg di hadapannya yg pikirannya hanya nadzarnya gusti Allah swt". Yang mana?
inna sa'ata qorib, "dekat"nya hari kiamat vs "dekat" dalam bahasa kita sekarang. Kapan dekatnya? Kita dengan utek dan ati elek akan bilang "mulai dari dulu kyai ngomong dekat. sampai sekarang juga tidak kiamat." Kita merasa janggal sebab kita merasa 80 tahun, 100 tahun, 1.000 tahun itu lama.
Nah Jangan-jangan kita memaknai Quran dengan kedengkian dan keterbatasan itu? (Atau dengan kejahilan seperti yang saya lakukan spt ilustrasi di atas.)
Maka ketika ditanya siapa yang paling berpotensi keliru? Ya orang khusyu'. Orang khusyu' klo husnudzan pada guru, maka berarti anut guru, yang artinya tanpa pembanding. Jika ia husnudzan kitab juga anut satu kitab saja, tanpa perbandingan. Apalagi jika percaya kesalehannya (seseorang) saja, tambah keliru lagi.
PENTINGNYA KONTROL ILMU DAN SANAD
Sehingga memang dalam hal agama, ilmu itu tidak boleh dikawal orang khusyu'. Ini ilmu lho ya! Masalah ilmu!Kalo orang shaleh, tetap saya cucup (hormati), tapi klo anut fatwanya emoh. Bahaya!. 😆
Masyhur, Imam Malik sangat hormat pada 100 orang Madinah. Tapi ketika ditanya, "Mengapa engkau tidak mau ngaji pada orang yang engkau hormati?"
"Mereka orang shaleh, tapi bab hadits, mereka bukan ahlinya."
Problem orang sholeh adalah suatu ilmu dianggap dan dibikin gampang. Punya mbahmu apa, elmu kok dibikin gampang!
Ilmu itu butuh kontrol, butuh kompetisi, butuh diakui satu kesepakatan para ahli.
Makanya masyhur Imam Malik berkata, "Saya tidak fatwa sebelum 70 orang alim Madinah bersaksi bahwa saya orang alim. Saya nggak berani."
Lha zaman sekarang ini, saksi kok MC belaka dengan ucapan "shohibul fadhilah"?? Itu saja entah bersaksi beneran entah prosedural semata. 🤣
Dulu itu ulama diuji!
Imam Bukhari pertama menjadi ahli hadits ya karena barokahnya orang-orang dengki. Ketika terkenal ahli hadits hidup di Madinah pulang ke Baghdad, 100 ahli hadits mengubah sanad. 100 sanad dibolak-balik, diubah-ubah. Semuanya alim bersaksi. Dan setiap ditanya hadits itu beliau jawab, "la adri (tidak tahu)".
Setelah 100 ulama dijawab la adri, maka pengujinya berkata, "Sekarang giliranmu bicara, ya Muhammad (bin Ismail)."
Jawab beliau, "Hadits yg ini sebagaimana yg ini dan ini, itu saya nggak tahu. Yang benar yg saya tahu begini dan begini."
Jadi urut. Jadi ahli hadits itu terang dan jelas benar. Misalnya begini. Orang tahulah misalnya sanad saya:
Saya ngaji Mbah Moen,
Mbah Moen pernah ngaji Mbah Karim Lirboyo
Mbah Karim pernah ngaji Mbah Hasyim Asyari
Mbah Hasyim ngaji Mbah Faqih Maskumambang
beliau pernah ngaji Mbah Mahfudz.
Itu bagi ahlinya kan urut. Lalu sanad itu dibalik!
Misal:
Mbah Moen ngaji Mbah Mahfudz.
Mbah Mahfudz ngaji Mbah Zubair.
Ahlinya kan langsung tahu klo dibolak-balik.
Lha besok lusa trus sanad saya dibalik: Gus Baha' mengaji ke (kyai) Thoha? Waduh, musibah kubra nanti. 😆
Lha iya, INI MISALNYA LHO!
nanti kebolak-baliknya zaman, mentang2 (kyai) Munif berewok, terus saya dibilang ngaji (kyai) Munif.
Yakin bumi langsung gempa! Gak trima, yakin gak trima. 😆
***
Sepenggal pengajian Gus Baha' dalam file "26 Des 11.17 AM" (yang saya telusuri ayatnya pakai Mbah Google ternyata adalah Tafsir Jalalain Al Maidah ayat 109 dst)
(jembare dadane Gus'e, alarm salah satu HP perekamnya bunyi berisik sekali, beliau tetap fokus ngaos. Saya yg dengar rekamannya saja terganggu sekali. 😆) Sampun riyin.
0 comments:
Posting Komentar