Masjid Al-Ikhlas

Ketika I'tidal Membaca Sami'allahu liman Hamidah atau Robbana Lakal Hamdu?

Pertanyaan: Assalamu 'alaikum para mu'allim dan para member PIIS-KTB yang di rahmati Allah.Mohon bimbingannya dan Minta pencerahannya. Sering saya jumpai saat sholat berjama'ah, banyak ma'mum yang ketika berdiri dari ruku' menuju (i'tidal) tidak membaca "SAMI'ALLOHU LIMAN HAMIDAH" melainkan langsung membaca "ROBBANAA WALAKALHAMDU dst..."yang ingin saya tanyakan"-Apakah membaca "SAMI'ALLOHU LIMAN HAMIDAH" tetap sunnah bagi ma'mum?-manakah yang lebih afdhol bagi ma'mum, membaca "SAMI'ALLOHU LIMAN HAMIDAH?Atau langsung "ROBBANAA LAKALHAMDU dst...?Mohon jawabannya, sekaligus kalau berkenan dengan ibarotnya. Sebelum nya saya ucapkan syukran ktsiir...!!!

Ketika I'tidal Membaca Sami'allahu liman Hamidah atau Robbana Lakal Hamdu


JAWABAN :

> Mahmud Al-Martapura

Dalam kitab hawi imam mawardi,

وقال أبو حنيفة يختص الإمام بقول سمع الله لمن حمده والمأموم بقول ربنا ولك الحمداستدلالا برواية سمي عن أبي صالح عن أبي هريرة أن رسول الله قال : إذا قال الإمام سمع الله لمن حمده فقولوا اللهم ربنا ولك الحمد

Menurut syafi'iyah, sunnah dua dua nya membaca dua-dua nya, Tapi yang afdholnya sami'allah liman hamidah itu di pisah dengan rabbana walakalhamdu, karena alasan intiqal..

> Masaji Antoro

Wa'alaikumsalam. Bacaan SAMI'A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU menurut kitab-kitab kalangan SYAFI'IYYAH disunahkan bagi imam, makmum, muballigh ataupun orang yang sedang shalat sendirian...

وَيُسْتَحَبُّ له أَنْ يَرْفَعَ يَدَيْهِ كما سَبَقَ في تَكْبِيرِ الْإِحْرَامِ حين يَرْفَعُ رَأْسَهُ من الرُّكُوعِ بِأَنْ يَكُونَ ابْتِدَاءُ رَفْعِهِمَا مع ابْتِدَاءِ رَفْعِهِ قَائِلًا في ارْتِفَاعِهِ لِلِاعْتِدَالِ سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لِلِاتِّبَاعِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ مع خَبَرِ صَلُّوا كما رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَسَوَاءٌ في ذلك الْإِمَامُ وَغَيْرُهُ وَأَمَّا خَبَرُ إذَا قال سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَك الْحَمْدُ فَمَعْنَاهُ قُولُوا ذلك مع ما عَلِمْتُمُوهُ من سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لِعِلْمِهِمْ بِقَوْلِهِ صَلُّوا كما رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي مع قَاعِدَةِ التَّأَسِّي بِهِ مُطْلَقًا

“Dan disunahkan mengangkat kedua tangannya seperti saat takbiratul ihram saat ia mengangkat kepalanya dari rukuk, dalam artian awal mengangkat kedua tangannya berbarengan dengan awal mengangkat kepalanya seraya membaca ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ berdasarkan itba’ Nabi pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim ‘Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat shalatku’.Ketentuan diatas sama bagi seorang imam dan lainnya (makmum, orang yang shalat sendirian).

Sedang hadits ‘bila imam membaca ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ maka ucapkanlah oleh kalian ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’ artinya adalah ucapkanlah ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’ bersama dengan ucapan yang telah kalian ketahui yakni ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ sebab para sahabat telah mengetahui bacaan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dari shalat yang dikerjakan oleh nabi dengan kaidah taassy secara mutlak”. [ Asna al-Mathoolib I/158 ].

ويجهر الامام بسمع الله لمن حمده، ويسر بربنا لك الحمد ويسر غيره بهما.نعم المبلغ يجهر بما يجهر به الامام ويسر بما يسر به كما قاله في المجموع لانه ناقل

“Dan bagi imam bacalah dengan keras bacaan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dan bacalah dengan pelan bacaan ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’, sedang bagi selain imam (makmum, orang yang shalat sendirian) bacalah pelan keduanya”Hanya saja bagi seorang muballigh (perantara bacaan imam) bacalah keras bacaan yang dikeraskan imam dan bacalah pelan bacaan yang dipelankan oleh imam sebagaimana yang diterangkan dalam kitab al-majmuu’ karena kedudukannya sebagai pemindah bacaan dari imam”. [ Al-Iqnaa I/133 ].

ثم يرفع من ركوعه قائلا سمع الله لمن حمده ويرفع يديه حذم منكبيه فإذا اعتدل قائما قال ربنا لك الحمد ملء السموات وملء الأرض ما شئت من شيء اماما كان أو مأموما أو منفردا

Kemudian bangkitlah ia dari rukukmya seraya mengucapkan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dan angkatlah kedua tangaanya selaras dengan kedua bahunya, kemudian saat ia telah tegak nerdiri ucapkan ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU MIL-US SAMAAWAATI WA MIL-UL ARDHI WA MIL-U MAA SYI’TA MIN SYAIIN’ baik ia seorang imam, makmum ataupun shalat sendiri”. [ Iqnaa Li al-Mawardy I/39 ].

( و ) يسن لكل مصل ( التكبير للانتقال من ركن إلى آخر....( إلا في الاعتدال ) ولو لثاني قيام الكسوف ( فيقول ) إماما كان أو منفردا أو مأموما مبلغا أو غيره ( سمع الله لمن حمده ) للاتباع أي تقبل الله منه حمده ويحصل أصل السنة بقوله من حمد الله سمعه

“Disunahkan bagi setiap orang yang shalat membaca takbir pada perpindahan gerakan-gerakan yang terdapat pada satu rukun shalat pada gerakan lainnya......Kecuali saat ia i’tidal meskipun pada saat berdiri yang kedua sewaktu shalat gerhana, maka ucapkanlah ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ baik ia seorang imam, shalat sendirian, makmum, muballigh ataupun lainnya berdasarkan itba’ pada nabi dengan hadits “semoga Allah mendengar pujian darinya”.Dan kesunahan terdapatkan juga dengan membaca “MAN HAMIDAHU ALLAAHU, SAMI’AHUU’’. [ Al-Minhaj al-Qawiim I/201 ]. Wallaahu A'lamu Bis showaab.

> Muhammad Ahmad

وَأَمَّا خَبَرُ إذَا قال سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَك الْحَمْدُ فَمَعْنَاهُ قُولُوا ذلك مع ما عَلِمْتُمُوهُ من سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لِعِلْمِهِمْ بِقَوْلِهِ صَلُّوا كما رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي مع قَاعِدَةِ التَّأَسِّي بِهِ مُطْلَقًا

Sedang hadits ‘bila imam membaca ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ maka ucapkanlah oleh kalian ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’ artinya adalah ucapkanlah ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’ bersama dengan ucapan yang telah kalian ketahui yakni ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ sebab para sahabat telah mengetahui bacaan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dari shalat yang dikerjakan oleh nabi dengan kaidah taassy secara mutlak”.

Fokus : sebab para sahabat telah mengetahui bacaan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dari shalat yang dikerjakan oleh nabi dengan kaidah taassy secara mutlak.

la'allashshawaab : sebab para sahabat telah mengetahui (bacaan SAMI'ALLAAHU LIMAN HAMIDAH) dengan sabda beliau SHALLUU KAMAA RA`ATUMUUNII USHALLII (shalatlah kamu sebagaimana kamu mengetahui aku shalat) serta kaidah TA`ASSII (menjadikan beliau sebagai uswah) secara mutlak . Wallaahu A'lam

Link asal : http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/416795411676606/

Bolehkah Mengambil Buah Tetangga yang Cabangnya Masuk ke Pekarangan Kita?

 Assalamuallaikum warohmatullah.. ma'af.. mau tanya : Saya punya pohon mangga yang ditanam pada halaman rumah. Pohon itu sangat subur dan buahnya banyak.. Cabang (pang) pohon tersebut masuk dalam kawasan tetangga saya dan juga masuk dalam jalan umum.

Boleh tidak hukumnya tetangga saya itu mengambil / memetik Buah mangga saya yang sudah masuk dalam kawasan halaman dia ?? dan Orang umum boleh tidak mengambil / memetik mangga saya yang sudah masuk dalam kawasan jalan umum ??


JAWABAN :

Wa'alaikumussalam. Tetangga dan orang umum tetap tidak boleh memetik buah pohon tersebut kecuali setelah mendapat izin dari pemilik pohon, karena buah-buahan yang menjalar keluar masih menjadi milik pemilik pohon tersebut.

> Abdurrahman As-syafi'i

HUKUM POHON YANG AKAR ATAU DAHANNYA MENJALAR KE PEKARANGAN ORANG LAIN.

Apabila ada pohon yang akar dan batangnya menjalai kepekarangan tetangga maka akar dan batangnya tetap kepunyaan pemilik pohon. Dan bila dirasa mengganggu maka tetangga harus lapor, dan atas laporan ini pemilik pohon wajib memotongnya, jika pemilik tidak mau maka pemilik pekarangan diperbolehkan memotongnya.

بغية المسترشدين ١٤٢

و لو انتشرت اغصان شجرة او عروقها الى هواء ملك الجار اجبر صاحبها على تحويلها فان لم يفعل فللجار تحويلها ثم قطعها ولو بلا اذنح حاكم كما فى التحفة و ان كانت قديمة بل لو كانت لهما مع الارض ................الى ان قال : و ان منعت الضوء عن الجار

Kalo dalam hukum negara demikian : Orang-orang yang hidup bertetangga tentulah mempunyai hak dan kewajiban masing-masing satu sama lain. Termasuk menyangkut dahan atau pohon yang mentiung / menjorok di pekarangan orang lain. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu tentang hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetanggaan .

•Pasal 666 (2) KUHPerdata : Barangsiapa mengalami bahwa dahan-dahan pohon tetangganya mentiung di atas pekarangannya, berhak menuntut supaya dahan- dahan itu dipotongnya.

•Pasal 666 (3) KUHPerdata : Apabila akar-akar pohon tetangganya tumbuh dalam tanah pekarangannya, maka berhaklah ia memotongnya sendiri; dahan-dahan pun bolehlah ia memotongnya sendiri, jika tetangga setelahsatu kali ditegur, menolak memotongnya, dan asal ia sendiri tidak menginjak pekarangan si tetangga.

> Ulilalbab Hafas

Ibarot ini sudah jelas bahwa dahan tersebut milk orang yang punya pohon. Jadi buah yang masih ada di dahan juga nasih milik nya yang punya pohon.

و لو انتشرت اغصان شجرة او عروقها الى هواء ملك الجار اجبر صاحبها على تحويلها فان لم يفعل فللجار تحويلها ثم قطعها ولو بلاذن حاكما

Ini ibarat yang pas banget :

ني ، ولو وصل غصنه بشجرة غيره كانت ثمرة الغصن لمالكه وإن كان متعديا

> Abdurrofik Ingin Ridlo Robby

8 حاشية البجيرمى على المنهج ج : 3 ص :

وحاصل المعتمد فى الدكة والشجرة وحفر البئر أن الدكة يمنع منها ولو بفناء داره او دعامة لجداره سواء فى المسجد اوالطريق وان اتسع وانتفى الضرر وأذن الإمام وكانت لعموم المسلمين وان الشجرة فى الطريق كذلك. اهـ

M Khamim

Mengambil buah yang jatuh dari pohon milik orang lain, baik untuk dimakan atau dijual, hukumnya boleh dan halal jika kita yakin bahwa pemiliknya sudah tidak memperdulikan lagi, atau diketahui bahwa pemiliknya sudah rida dan rela, dan atau sudah menjadi kebiasaan masyarakat bahwa jika ada buah jatuh dari pohon, maka boleh diambil oleh siapa pun.

Hal ini sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj berikut;

وَيَحْرُمُ أَخْذُ ثَمَرٍ مُتَسَاقِطٍ إنْ حُوِّطَ عَلَيْهِ وَسَقَطَ دَاخِلَ الْجِدَارِ وَكَذَا إِنْ لَمْ يُحَوَّطْ عَلَيْهِ أَوْ سَقَطَ خَارِجَهُ لَكِنْ لَمْ تُعْتَدِ الْمُسَامَحَةُ بِأَخْذِهِ وَفِي الْمَجْمُوْعِ مَا سَقَطَ خَارِجَ الْجِدَارِ إنْ لَمْ تُعْتَدْ إِبَاحَتُهُ حَرُمَ وَإِنِ اعْتِيدَتْ حَلَّ

“Dan haram memungut buah-buahan yang telah jatuh bila pohonnya dipagari dan jatuh di dalam tembok pagar, atau jatuh di luar tembok pagar hanya saja tidak ada kebiasaan masyarakat dalam kebolehan mengambilnya. Dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa ‘Benda yang jatuh di luar tembok pagar bila tidak umum kebolehan mengambilnya di masyarakat, maka haram memungutnya. Namun jika umum kebolehan mengambilnya, maka hukumnya halal.”

Dalam kitab Asnal Mathalib juga disebutkan sebagai berikut,

فَلَوْ جَرَتِ الْعَادَةُ بِأَكْلِ مَا تَسَاقَطَ مِنْهَا جَازَ إِجْرَاءً لَهَا مَجْرَى اْلإِبَاحَةِ لِحُصُوْلِ الظَّنِّ بِهَا

“Jika sudah biasa dengan memakan buah yang jatuh dari pohon, maka boleh (diambil dan dimakan) karena sudah berlaku hukum ibahah atau kebolehan karena sudah ada dugaan (kerelaan) dengan buah yang jatuh tersebut (dari pemiliknya).”

Namun, jika sebaliknya, yaitu diyakini bahwa pemiliknya tidak rela, atau dalam masyarakat tidak ada kebiasaan mengambil buah yang jatuh, atau buah yang jatuh masih di area dalam pagar pohon tersebut, maka tidak boleh mengambil buah tersebut.

Wallaahu A'lamu Bish Showaab

LINK ASAL : http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/570137713009041/

Arti Makna Lubang Jauf dalam Fiqih Puasa Mazhab Syafi'i (Ustadz Muafa dan Ustadz Ma'ruf Khozin)

Batal Puasa Karena Sengaja Memasukkan Benda ke Dalam 'Jauf', Dulu dan Saat Ini 

Oleh: Ustadz Ma'ruf Khozin 

Dulu, arti Jauf adalah bagian dalam perut yang memproses makanan atau pencernaan. Lubang yang mengarah pada Jauf adalah mulut, hidung, telinga dan anus.

Sehingga jika ada benda yang masuk ke tubuh tidak melalui pencernaan maka tidak batal, seperti penjelasan ulama Mazhab Syafii:

ولا يضر تشرب المسام بالدهن والكحل والاغتسال

“Puasa tidak batal karena sesuatu yang terserap melalui pori-pori seperti minyak, celak dan air saat mandi” (Busyra Al-Karim, 1/550)

1. Obat Mata

Syekh Al-Mahalli menjelaskan terkait pemakaian celak yang fungsinya saat ini seperti obat tetes mata:

َلاَ يَضُرُّ اْلاِكْتِحَالُ وَاِنْ وُجِدَ طَعْمُهُ اَىِ الْكُحْلِ بِحَلْقِهِ لاَنَّهُ لاَ يَنْفُذُ مِنَ الْعَيْنِ اِلَى الْحَلْقِ وَالْوَاصِلُ اِلَيْهِ مِنَ الْمَسَامِّ 

"Boleh memakai celak sekalipun ditemukan rasanya pada tenggorokan, karena celak tidak dapat tembus dari mata sampai tenggorokan, dan sesuatu yang sampai ke tenggorokan itu adalah melalui jalan pori-pori." (al-Mahally juz 2 hal 56) 

Hal ini didasarkan pada riwayat Sahabat:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ كَانَ يَكْتَحِلُ وَهُوَ صَائِمٌ.

Anas bin Malik memakai celak saat puasa (Abu Dawud)

2. Suntikan 

Imam An-Nawawi menjelaskan:

 لو أوصل الدواء إلى داخل لحم الساق، أو غرز فيه السكين فوصلت مخه، لم يفطر، لأنه ‌لم ‌يعد ‌عضوا ‌مجوفا. 

“Jika seseorang memasukkan obat ke bagian dalam daging betisnya, atau memasukkan pisau lalu pisau itu sampai pada sumsumnya, maka hal itu tidak batal puasanya, karena hal itu bukan termasuk rongga tubuh.” (Raudhat 1/664)

Jarum yang masuk ke tubuh tidak membatalkan puasa didasarkan pada hadis:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ مُحْرِمٌ

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi melakukan bekam saat puasa dan ihram (HR Abu Dawud)

Bagaimana dengan infus? Saya sependapat dengan penjelasan berikut:

وقول وفيه التفصيل -وهو الأصح- إن كانت مغذية فتبطل الصوم 

Dalam satu pendapat ada perincian -ini pendapat yang lebih kuat-. Bila suntikan mengandung bahan yang mengenyangkan (di antara kandungan infus terdapat natrium) maka membatalkan puasa.

وإن كانت غير مغذية فتنظر ان كان في العروق المجوفة وهي الأوردة فتبطل . وإذا كان في العضل وهو غير المجوفة فلا تبطل 

Jika suntikan tidak mengenyangkan (berisi obat), maka dirinci; bila disuntik ke dalam pembuluh darah maka membatalkan puasa. Jika suntik dimasukkan dalam otot selain pembuluh darah maka tidak membatalkan puasa (At Taqrirat As Sadidah, 452). ***

Arti Makna Lubang Jauf dalam Fiqih Puasa Mazhab Syafi'i 

Oleh : Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) 

Contoh penggunaan lafal jauf (الجوف) dalam pembahasan fikih puasa adalah kaidah yang disebutkan oleh al-Nawawī dalam kitab Rauḍatu al-Ṭālibīn berikut ini,

مِنَ الْمُفْطِرَاتِ دُخُولُ شَيْءٍ فِي جَوْفِهِ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (2/ 356)

Artinya,

“Di antara hal-hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke dalam jauf-nya”

Dalam kaidah di atas ditegaskan bahwa benda apapun (syai’un) yang masuk ke dalam jauf, maka membatalkan puasa. 


Syai’un (sesuatu) yang dimaksud dalam pernyataan di atas bersifat umum, tidak membedakan apakah yang bisa dimakan seperti nasi dan obat ataukah yang tidak bisa dimakan seperti kerikil dan  pisau. Jadi nasi, obat, kerikil, ataupun pisau jika masuk ke dalam jauf, maka batallah puasanya.  Lafal syai’un yang dipakai oleh al-Nawawī di sini oleh ulama-ulama Al-Syāfi‘iyyah yang lain diungkapkan dengan lafal ‘ain (العين)/benda konkrit. Dengan demikian sesuatu yang tidak termasuk ‘ain, seperti angin/bau atau rasa jika masuk ke dalam jauf, maka puasanya tidak batal.

Dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu yang masuk ke dalam jauf itu membatalkan puasa adalah aṡar Ibnu Abbās berikut ini,

وإِنَّما الفِطرُ ممّا دَخَلَ ولَيسَ ممّا خَرَجَ (السنن الكبرى للبيهقي ت التركي (9/ 5)

Artinya,

“Batalnya puasa itu hanyalah karena sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang keluar”

Dalam aṡar di atas cukup jelas dikatakan bahwa benda asing yang masuk bisa membatalkan puasa, sementara yang keluar dari tubuh (misalnya darah melalui pembekaman) itu tidak membatalkan puasa.

Hadis Laqīṭ bin Ṣabirah menguatkan ketentuan ini. Abū Dāwūd meriwayatkan,

عَنْ أَبِيهِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا» سنن أبي داود (2/ 308)

Artinya,

“Dari Laqīṭ bin Ṣabirah beliau berkata, Rasulullah ﷺ   bersabda, ‘Bersungguh-sungguhlah saat ber-istinsyāq kecuali jika engkau berpuasa”

Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ memerintahkan agar bersungguh-sungguh (mubālagah) saat beristinsyāq (menghirup air melalui hidung). Tetapi Rasulullah ﷺ melarang mubālagah saat beristinsyāq dalam keadaan berpuasa. Hal ini memberi isyarat bahwa mubālagah  saat beristinsyāq dalam keadaan berpuasa berpotensi membatalkan puasa karena masuknya air ke dalam tubuh.

BATASAN JAUF

Pertanyaannya, “Apa sebenarnya pengertian jauf itu?” 

Jawaban pertanyaan ini adalah sebagai berikut.

Jauf itu bermakna RONGGA TUBUH (body cavity). Sebab, secara bahasa jauf itu bermakna khalā’ (rongga). Al-Fayyūmī berkata,

 الْجَوْفُ الْخَلَاءُ (المصباح المنير في غريب الشرح الكبير (1/ 115)

Artinya,

“Jauf bermakna rongga”

Secara medis, rongga tubuh manusia terbagi menjadi dua kelompok besar yakni ventral cavity (rongga perut) dan dorsal cavity (rongga punggung). Lebih spesifik lagi rongga dalam tubuh manusia ada beberapa macam yaitu cranial cavity (rongga tengkorak), spinal cavity (rongga tulang belakang), thoracic cavity (rongga dada), abdominal cavity (rongga abdomen), dan pelvic cavity (rongga panggul).

Inilah pendapat mu‘tamad mazhab al-Syāfi‘ī terkait definisi jauf. 

Sebenarnya di kalangan internal Al-Syāfi‘iyyah sendiri ada pendapat lain. Yakni membatasi definisi jauf pada organ tubuh  yang memiliki kemampuan mengubah zat yang masuk (baik makanan maupun obat) menjadi zat lain (fīhi quwwatun tuḥīlu al-wāṣil ilaihi min giżā’in au dawā’). Ini juga menjadi pendapat Ibnu al-Aṡīr dalam al-Nihāyah fī Garībi al-Ḥadīṡ wa al-Aṡar. Contoh organ seperti ini adalah bagian dalam otak (bāṭinu al-dimāg), perut (al-baṭn), usus (al-am‘ā’), dan kandung kencing (al-maṡānah). Tetapi pendapat mu‘tamad mazhab al-Syāfi‘ī tidak membedakan antara organ tubuh yang punya kemampuan mengubah zat yang masuk menjadi unsur lain maupun tidak.  Jadi, definisi jauf dalam pendapat mu‘tamad itu lebih luas. Keluasan definisi jauf ini akhirnya membuat mazhab al-Syāfi‘ī menjadi mazhab yang paling berhati-hati dalam urusan perkara yang membatalkan puasa.

Dalam kitab-kitab fikih mazhab al-Syāfi‘ī diberikan beberapa contoh kasus untuk memperjelas dan memberi batasan organ tubuh mana yang termasuk jauf dan mana yang tidak termasuk jauf.

• Kemaluan (al-farj) dan perut (al-baṭn)  termasuk jauf berdasarkan hadis bahwa yang paling banyak membuat orang mausk neraka adalah dua organ berrongga (ajwafāni) yakni perut dan kemaluan

• Saluran kencing (iḥlīl) termasuk jauf

• Bagian dalam tengkorak kepala (bāṭinu al-dimāg) termasuk jauf

• Usus (al-am‘ā’) termasuk jauf

• Kandung kemih (al-maṡānah) termasuk jauf

• Bagian dalam hidung yang melebihi khaisyūm (pangkal hidung) termasuk jauf

• Bagian dalam telinga termasuk jauf karena meskipun tidak ada saluran ke otak, tetapi ada saluran ke bagian dalam tengkorak.

• Kerongkongan (halq) termasuk jauf. Batasan paling luarnya adalah area yang terpakai saat melafalkan huruf ḥā’ (الحاء) atau khā’ (خ)

Otot tidak termasuk jauf.

Sumsum tidak termasuk jauf.

Mata bukan jauf karena tidak ada manfaż dari mata ke kerongkongan

PENERAPAN DALAM FIKIH PUASA

Oleh karena kaidahnya berbunyi, “Segala sesuatu yang masuk ke dalalam jauf mambatalkan puasa” maka kita bisa mempraktekkannya pada sejumlah contoh kasus berikut ini,

• Ada ingus yang keluar sampai ke mengalir ke bibir, kemudian dijilat dan terasa sampai area yang dipakai  melafalkan khā’, maka batallah puasanya karena ingus dimasukkan ke dalam jauf.

• Vaksinasi polio jenis OPV membatalkan puasa dalam mazhab al-Syāfi‘ī, karena vaksinasi ini dilakukan dengan cara meneteskan vaksin ke dalam mulut dan harus ditelan. Jadi, ada benda asing yang masuk ke dalam jauf melalui mulut.

• Di perut ada luka, lalu diberi obat lalu obat tersebut masuk ke abdominal cavity, maka batallah puasanya

• Di kepala ada luka lalu diberi obat, kemudian masuk ke cranial cavity, maka batal puasanya

• Menusuk tubuh sendiri dengan pisau hingga tembus ke  kandung kemih, maka batallah puasanya.

Tetapi,

• Jika obat dimasukkan ke dalam daging betis, maka tidak batal puasa karena daging betis bukan jauf

• Vaksinasi untuk covid-19 tidak membatalkan puasa karena teknik vaksinasinya memakai suntikan pada lengan yang termasuk jenis injeksi intramuscular, sehingga vaksin dimasukkan pada otot, bukan jauf.

Hanya saja, batalnya puasa karena benda asing yang masuk ke dalam jauf ini  diikat 3 syarat,

Pertama: Benda asing tersebut dimasukkan dengan sengaja

Kedua: Masuknya benda asing tersebut melalui saluran/”jendela” terbuka (manfaż maftūḥ) baik alami (seperti mulut, hidung, telinga,  kubul, dubur ) maupun rekayasa (seperti luka). Pori-pori kulit tidak masuk definisi manfaż maftūḥ. 

Ketiga: Saat memasukkan benda asing tersebut dalam kondisi ingat sedang berpuasa. 

Wallahua'lam 

اللهم ارزقنا التقوى بالصيام

***


Sumbangan Karpet untuk Masjid Al-Ikhlas GML

Masjid Al-Ikhlas GML mendapatkan sumbangan karpet. Pertama karpet untuk jamaah atas nama almarhum Bapak M Tamjis, almarhum Bapak Sarjono,  dan almarhumah Ibu Mazziah. Kedua karpet untuk imam, sumbagan dari hamba Allah.

Sumbangan Karpet untuk Masjid Al-Ikhlas GML

Sumbangan Karpet untuk Masjid Al-Ikhlas GML

Sumbangan Karpet untuk Masjid Al-Ikhlas GML