Masjid Al-Ikhlas

Fiqih Udzur Sholat Tidak Bisa Berdiri atau Bisa berdiri Tidak Bisa Ruku' dan Sujud

Banyak yg mengira kalau orang yg tidak bisa sholat dg berdiri karena suatu hal, kemudian sholat dg duduk, maka rukuk dan sujudnya cukup dilakukan dg menundukkan badan...banyak pula yg mengira bahwa orang yg tidak bisa rukuk dan sujud karena suatu hal, maka boleh sholat dg duduk mulai awal sampai akhir...dari pemahaman yg keliru itu akhirnya banyak orang yg langsung sholat dg duduk, baik di lantai atau di kursi, tanpa memperhatikan batasan udzur yg jelas, lalu rukuk dan sujud sekedarnya, yg penting ketika sujud punggung lebih menunduk daripada rukuk...

Padahal sebenarnya tidak demikian...hal yg mudah dilakukan tidaklah gugur sebab hal yg sulit dilakukan... 

الميسور لا يسقط بالمعسور

Oleh: Ustadz Muhammad Dzunnun Amrullah

Udzur Sholat Tidak Bisa Berdiri atau Bisa berdiri Tidak Bisa Ruku' dan Sujud

Berdiri, rukuk dan sujud adalah rukun-rukun sholat yg punya dhobt/batasan rukhsoh yg mandiri, dan tidak saling menggugurkan satu sama lain...kewajiban berdiri tidak gugur meskipun seseorang tidak bisa rukuk atau sujud...demikian pula kewajiban rukuk dan sujud dg sempurna, tidak gugur meskipun seseorang sholat dg duduk...

Jadi, 

• orang yg tidak bisa berdiri namun masih bisa rukuk dan sujud, maka sholat dg duduk, rukuknya dg merundukkan kepala, dan sujudnya wajib dilakukan seperti biasa, menempelkan kening ke lantai...

• orang yg tidak bisa berdiri dan tidak bisa rukuk namun masih bisa sujud, maka sholat dg duduk, rukuknya dg isyarat semampunya dan sujudnya tetap wajib dilakukan seperti biasa...

• orang yg tidak bisa berdiri, juga tidak bisa rukuk dan sujud dg sempurna, maka sholat dg duduk di lantai mulai awal sampai akhir...sujudnya dg menundukkan kepala lebih rendah daripada rukuknya... 

• orang yg bisa berdiri namun tidak bisa rukuk dan sujud, maka wajib tetap sholat dg berdiri...rukuk dan sujudnya dg menundukkan punggungnya, atau lehernya atau kepalanya atau pandangannya, sebisa yg dia lakukan...ia berdiri mulai awal sampai akhir sholat... 

• orang yg menurut keterangan dokter tidak boleh berdiri dan tidak boleh duduk/melipat lututnya di lantai, diperbolehkan baginya sholat di atas kursi, rukuk dan sujudnya dg merundukkan kepala... 

Maka, 

• tidak sah orang yg sholat dg duduk padahal masih kuat berdiri... 

• tidak sah orang yg sholat dg duduk hanya karena tidak bisa rukuk dan sujud...

• tidak sah orang yg sholat dg duduk di lantai, lalu sujudnya dilakukan dg membungkukkan badan, padahal masih bisa menempelkan kening ke lantai...

• tidak sah orang yg sholat dg duduk di kursi tanpa rukuk dan sujud yg sempurna padahal jika duduk di lantai ia mampu melakukan rukuk dan sujud dengan sempurna... 

Apa saja aturan syariat terkait berdiri di dalam sholat ?

• berdiri dalam sholat fardhu hukumnya wajib bila mampu, meninggalkannya tanpa udzur sholat tidak sah, meyakini kalau berdiri tidak wajib hukumnya kafir... 

• orang yg tidak mampu berdiri karena udzur, lalu sholat dg duduk, sholatnya sah dan mendapat pahala yg sempurna sebagaimana orang yg sholat berdiri... 

• kewajiban berdiri tidak gugur bila udzurnya diperkirakan bisa hilang dg mengakhirkan sholat...maka wajib menunda sholatnya meskipun menyebabkannya sholat di akhir waktu... 

• kewajiban berdiri tidak gugur bila sakitnya hilang di tengah sholat...misal seseorang memulai sholatnya dengan duduk, kemudian di rokaat kedua ia merasa mampu untuk berdiri, maka ia wajib berdiri saat itu... 

• begitupun sebaliknya, kewajiban berdiri bisa gugur di tengah sholat...misal di awal rakaat ia sholat dengan berdiri, kemudian di rokaat kedua kepala terasa pening berat maka ia boleh melanjutkan sholatnya dalam keadaan duduk... 

• kewajiban berdiri tidak gugur meskipun sekedar untuk baca fatihah...jadi misal seseorang hanya kuat berdiri untuk membaca fatihah dan tidak kuat berdiri untuk membaca surat, maka wajib berdiri ketika membaca fatihah kemudian duduk untuk membaca surat... 

• kewajiban berdiri tidak gugur bila masih bisa dibantu oleh alat, seperti tongkat, meja, tembok, atau dibantu orang lain, meskipun ia harus membayarnya...jadi wajib baginya menggunakan bantuan... 

• bersandar saat berdiri hukum asalnya makruh, kecuali bila karena udzur maka tidak makruh lagi, bahkan bisa wajib bersandar bila hanya dengannya ia mampu berdiri... 

• batas udzur yg membolehkan sholat dg duduk, menurut Imam Syafii : sakit yg tidak bisa ditahan... 

menurut Ibnu Rif'ah : sakit yg berat... 

menurut Imam Nawawi : kesulitan yg jelas, khawatir luka/sakit, takut penyakitnya semakin parah, takut tenggelam, kepala pusing, atau ada masyaqqoh yg bisa menghilangkan kekhusyukan...

menurut as Syarqowy : sakit atau hal2 apapun yg menghilangkan kesempurnaan khusyu'... 

• orang yang mampu melaksanakan shalat sendirian dalam keadaan berdiri dari awal rakaat hingga akhir, namun jika berjamaah dia harus duduk pada sebagian rakaat, maka baginya lebih utama melaksanakan shalat sendirian...meski demikian, jika dia tetap melaksanakan shalat berjamaah dengan pilihan harus duduk pada sebagian rakaat, maka shalatnya tetap sah... 

• bagi orang yang da'imul hadas, baik karena beser atau istihadhoh atau keputihan, bila shalat dengan duduk hadasnya bisa berhenti, maka ia diwajibkan shalat dengan duduk...nanti setelah sembuh tidak perlu mengqadla shalatnya...

• posisi duduk untuk sholat boleh dg iftirosy (duduk tahiyyat awal), atau tawarruk (duduk tahiyyat akhir) atau tarobbu' (duduk bersila), atau duduk iq'aa' atau tamdid (menselonjorkan kaki)...perbedaan pendapat para ulama hanya dari sisi afdholiyahnya...menurut qoul adzhar duduk iftirosy lebih utama, sebab itu adalah duduk ibadah, sedangkan tarobbu' adalah duduk adat...menurut sebagian ulama duduk tarobbu' lebih utama, agar membedakan antara duduknya orang yg udzur dg orang yg tidak udzur, dan Nabi juga pernah mempraktekkan sholat dg duduk tarobbu'...menurut al Mawardi bagi perempuan lebih utama duduk tarobbu' karena lebih menutup aurot... 

(duduk iq'aa' itu mirip duduk iftirasy hanya saja kedua kakinya ditegakkan, jari-jari kaki bagian dalam menempel di lantai dan pantat menempel tumit) 

(orang yg sholat dg duduk menselonjorkan kaki tetap wajib sujud dg sempurna dan menempelkan kening di lantai bila mampu) 

Bagaimana dg sholat sunnah ? 

• berdiri dalam sholat sunnah hukumnya sunnah, boleh ditinggalkan meskipun tanpa udzur, namun pahala sholatnya separuh... 

• termasuk khususiyat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, beliau meskipun sholat dg duduk, tetap dapat pahala sempurna... 

• diperbolehkan pula sholat sunnah dg berbaring (tidur miring) meskipun ia kuat duduk dan berdiri, namun pahalanya separuh dari sholat duduk... 

• sholat dg berbaring/tidur miring, caranya dg tidur di atas lambung kanan, wajah dan tubuh menghadap ke kiblat...bila tidak mampu maka cukup wajahnya yg menghadap kiblat...rukuk dan sujudnya dg isyarat kepala, bila tidak mampu maka dg isyarat mata... 

Bila tidak bisa duduk tawarruk, maka boleh duduk iftirosy...bila iftirosy tidak bisa, boleh duduk bersila...bila masih tidak bisa, boleh duduk menselonjorkan kaki...bila masih tidak bisa maka boleh duduk dg cara apapun...


فَإِنْ لَمْ يُطِقِ انْتِصَابًا وَصَارَ كَرَاكِعٍ فَالصَّحِيحُ: أَنَّهُ يَقِفُ كَذَلِكَ، وَيَزِيدُ انْحِنَاءَهُ لِرُكُوعِهِ إِنْ قَدَرَ. وَلَوْ أَمْكَنَهُ الْقَيَامُ دُونَ الرُّكُوعِ وَالسَّجُودِ قَامَ وَفَعَلَهُمَا بِقَدْرِ إِمْكَانِهِ ولو استند مع الانتصاب المشروط إلى جدار أو إلى إنسان استنادًا لا يسلب اسم القيام صح في الأصح، وقيل: لا، وقيل: إن كان بحيث لو رفع السناد لم يسقط صح، وإلا فلا. ولو لم يقدر على النهوض للقيام إلا بمعين لزمه أن يستعين بمن يقيمه، فإن لم يجد متبرعًا لزمه الاستئجار بأجرة المثل إن وجدها، أو أن يعتمد على شيء. قال القاضي حسين: لم يلزمه ذلك، وصرح الإمام والمتولي بخلافه

( النجم الوهاج في شرح المنهاج - ج ٢ ص ٩٨) 

وَاعْلَم أَنه لَيْسَ المُرَاد بِالْعَجزِ عدم الامكان بل خوف الْهَلَاك أَو زِيَادَة الْمَرَض أَو لُحُوق مشقة شَدِيدَة أَو خوف الْغَرق ودوران الرَّأْس فِي حق رَاكب السَّفِينَة وَقَالَ الامام ضبط الْعَجز أَن تلْحقهُ مشقة تذْهب خشوعه كَذَا نَقله عَنهُ النَّوَوِيّ فِي الرَّوْضَة وَأقرهُ إلاأنه فِي شرح الْمُهَذّب قَالَ الْمَذْهَب خِلَافه وَقَالَ الشَّافِعِي هُوَ أَن لَا يُطيق الْقيام إِلَّا بِمَشَقَّة غير مُحْتَملَة قَالَ ابْن الرّفْعَة أَي مشقة غَلِيظَة وَاعْلَم أَنه لَا يتَعَيَّن لقعوده هَيْئَة وَكَيف قعد جَازَ وَفِي الْأَفْضَل قَولَانِ أصَحهمَا الافتراش لِأَنَّهُ أقرب إِلَى الْقيام وَلِأَن التربع نوع ترفه والثَّانِي التربع أفضل ليتميز قعُود الْبَدَل عَن قعُود الأَصْل

( كفاية الاخيار ص ٢٢)

(قوله إجماعا) إلى قوله: ولو نهض في النهاية والمغني قول المتن (كيف شاء) أي على أي كيفية شاءها من افتراش أو تورك أو تمديد أو نحو ذلك شيخنا. (قوله ولا ينقص ثوابه الخ) فثوابه كثواب القائم

( حواشي الشرواني ج ٢ ص ٢٤)

وإذا افتتح الصلاة قائما ثم عجز أتم صلاته وإن افتتحها قاعدا ثم قدر على القيام قام وأتم صلاته لأنه يجوز أن يؤدي جميع صلاته قاعدا عند العجز ، وجميعها قائما عند القدرة ، فجاز أن يؤدي بعضها قاعدا عند العجز وبعضها قائما عند القدرة ( فرع ) في مذاهب العلماء إذا افتتح الصلاة قائما ثم عجز قعد وبنى عليها بالإجماع ، نقل الإجماع فيه الشيخ أبو حامد وغيره ، وإن افتتحها قاعدا للعجز ثم قدر على القيام قام وبنى عندنا ، وبه قال أبو حنيفة وأبو يوسف والجمهور

(المجموع ج ٤ ص ٢٠٨) 

"ولو قَدَرَ عَلَى الْقِيَامِ أَوْ الِاضْطِجَاعِ فَقَطْ ، أَيْ دُونَ الْجُلُوسِ : قَامَ وُجُوبًا ؛ لِأَنَّ الْقِيَامَ قُعُودٌ وَزِيَادَةٌ ، وَأَوْمَأَ قَائِمًا بِالرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ قُدْرَتَهُ.... وَتَشَهَّدَ وَسَلَّمَ قَائِمًا ، وَلَا يَضْطَجِعُ

(حاشية العبادي على تحفة المحتاج ج ٢ ص ٢٣) 

ولو عجز عن النهوض إلا بمعين لزمه ولو بأجرة مثل طلبها فاضلة عما يعتبر في الفطرة فيما يظهر وقول ابن الرفعة لو قدر أن يقوم بعكاز أو اعتماد على شيء لم يلزمه ضعيف كما أشار إليه الأذرعي أو محمول على ما قاله الغزي على ملازمة ذلك ليستمر له القيام فلا ينافي الأولى لأن محلها فيما إذا عجز عن النهوض إلا بالمعين لكنه إذا قام استقل اهـ والأوجه أنه لا فرق فحيث أطاق أصل القيام أو دوامه بالمعين لزمه

(تحفة المحتاج ج ٢ ص ٢٢) 

ولو عجز عن الركوع والسجود دون القيام لعلة بظهره تمنع الانحناء لزمه القيام ، ويأتي بالركوع والسجود بحسب الطاقة ، فيحني صلبه قدر الإمكان .فإن لم يطق ، حنى رقبته ، ورأسه ، فإن احتاج فيه إلى شيء يعتمد عليه ، أو إلى أن يميل إلى جنبه لزمه ذلك . فإن لم يطق الانحناء أصلا أومأ إليهما

(الروضة ج ١ ص ٢٣٣) 

ومنها ما لو كان به سلس بول ولو قال سال بوله وإن قعد لم يسل فإنه يصلي قاعدا وجوبا كما في الأنوار ولا إعادة عليه

ولو أمكن المريض القيام منفردا من غير مشقة ولم يمكنه ذلك في جماعة إلا بفعل بعضها قاعدا فالأفضل الانفراد ، وتصح مع الجماعة وإن قعد في بعضها كما في زيادة الروضة

( نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج ج ١ ص ٤٦٥)

(ولو عجز عن القيام قعد) بالإجماع (كيف شاء) لإطلاق حديث عمران بن الحصين، ولا ينقص ثوابه، لأنه معذور.( وافتراشه أفضلُ من تربُّعه) وتوركِه وغيرِهما (في الأظهر) لأنه قعود العبادة، فكان أولى من التربع الذي هو قعود العادة، وإنما فضل على التورك؛ لأنه قعود تَعْقُبه حركة، فأشبه التشهدَ الأول، والثاني: التربع أفضل؛ لئلّا يلتبس بالتشهد، وصححه جمع، وقال الماوردي: إن التربع للمرأة أفضل، لأنه أستر لها

(بداية المحتاج شرح المنهاج ج ١ ص ٢٣٢) 

قوله (فَإنْ لَمْ يَقْدرْ) عَلىَ الْقيَام بأنْ لَحقَتْهُ به مَشَقةٌ شَديْدَةٌ أوْظَاهرَةٌ عبَارَتَان مَعْنَاهُمَا وَاحدٌ وَهيَ التيْ لاَ تُحْتَمَلُ عَادةً وَإنْ لمْ تُبح التيمُمَ كدَوَرَان رْأس وَهَلْ التيْ تذهبُ الخُشُوْعَ شَديدَةٌ ؟ قَالَ (حج) لاَ و (مر) نَعَمْ بَلْ قاَلَ الشرْقاَويْ أوكَمَالَهُ ( قَعَدَ) كَيْفَ شَاءَ وَلاَ يَنْقُصُ ثَوَابَه

(بشرى الكريم ص ٢٠٠) 

فَإِذَا كَانَ يَقْدِرُ عَلَى الْقِيَامِ إلَى قَدْرِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ يَعْجِزُ قَدْرَ السُّورَةِ قَامَ إلَى تَمَامِ الْفَاتِحَةِ ثُمَّ قَعَدَ حَالَ قِرَاءَةِ السُّورَةِ ثُمَّ قَامَ لِلرُّكُوعِ

(تحفة المحتاج ج ٢ ص ٢١) 

أجمعت الأمة على أن من عجز عن القيام في الفريضة صلاها قاعدا ولا إعادة عليه , قال أصحابنا : ولا ينقص ثوابه عن ثوابه في حال القيام , لأنه معذور , وقد ثبت في صحيح البخاري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( إذا مرض العبد أو سافر كتب له ما كان يعمل صحيحا مقيما ) . قال أصحابنا : ولا يشترط في العجز أن لا يتأتّى القيام ، ولا يكفي أدنى مشقة ، بل المعتبر المشقة الظاهرة ، فإذا خاف مشقة شديدة أو زيادة مرض أو نحو ذلك أو خاف راكب السفينة الغرق أو دوران الرأس صلى قاعدا ولا إعادة

( المجموع ج ٤ ص ٢٠١) 

معناه أن صلاة القاعد فيها نصف ثواب القائم ، فيتضمن صحتها ونقصان أجرها . وهذا الحديث محمول على صلاة النفل قاعدا مع القدرة على القيام ، فهذا له نصف ثواب القائم . وأما إذا صلى النفل قاعدا لعجزه عن القيام فلا ينقص ثوابه بل يكون كثوابه قائما . وأما الفرض فإن صلاه قاعدا مع قدرته على القيام لم يصح فلا يكون فيه ثواب بل يأثم به قال أصحابنا (الشافعية) : وان استحله كفر وجرت عليه أحكام المرتدين كما لو استحل الزنى والربا أو غيره من المحرمات الشائعة التحريم .وإن صلى الفرض قاعدا لعجزه عن القيام أو مضطجعا لعجزه عن القيام والقعود ، فثوابه كثوابه قائما ، لم ينقص باتفاق أصحابنا ، فيتعين حمل الحديث في تنصيف الثواب على من صلى النفل قاعدا مع قدرته على القيام . هذا تفصيل مذهبنا وبه قال الجمهور في تفسير هذا الحديث وأما قوله صلى الله عليه وسلم : ( لست كأحد منكم ) فهو عند أصحابنا من خصائص النبي صلى الله عليه وسلم ، فجُعلت نافلته قاعدا مع القدرة على القيام كنافلته قائما تشريفا له ، كما خص بأشياء معروفة في كتب أصحابنا وغيرهم ، وقد استقصيتها في أول كتاب تهذيب الأسماء واللغات

(شرح صحيح مسلم ج ٦ ص ١٤)  

والمراد بالنائم المضطجع. ولو تنفل مضطجعا بالإيماء بالرأس مع قدرته على القيام والقعود فوجهان (أحدهما) لا تصح صلاته لأنه يذهب صورتها بغير عذر وهذا أرجحهما عند إمام الحرمين والثاني وهو الصحيح صحتها لحديث عمران

( المجموع ج ٣ ص ٢٧٥) 

مسألة الصلاة على الكرسي يعود حكمه إلى ما يقوله الطبيب الموثوق به للمريض، فإن منعه من الصلاة قاعداً، أي منعه من ثني ركبتيه على الأرض، فليس أمامه إلا الصلاة على الكرسي عندما يهوي للسجود، وصلاته عندئذ صحيحة على كل المذاهب، وإن منعه من الصلاة قائماً لسبب ما ولم يمنعه من الحالات الأخرى، أي لم يمنعه من السجود على الأرض بوضع جبهته عليها، وجب عليه ذلك ولم تصح صلاته على الكرسي، إلا إن هوى عند السجود على الأرض كغيره وخصوصية الكرسي لا معنى لها ولا حاجة إليها عندئذ

( فتاوى الشهيد محمد سعيد رمضان البوطي رقم ٢٥٤٦)


فرع : لو عجز عن هيئة الافتراش أو التورك المعروفة وقدر على عكسها فعله لأنه الميسور

(تحفة الحبيب ج ٢ ص ٢٣٤)

اعلم أنه لا يتعين في الصلاة جلوس بل كيف قعد المصلي جاز وهذا إجماع سواء في ذلك جلسة الاستراحة والجلوس بين السجدتين والجلوس لمتابعة الإمام

(كفاية الاخيار ١١٧)

Apa Bedanya Musholla dan Masjid?

 Apakah Mushalla Adalah Masjid? Oleh: K.H. Abdul Wahab Ahmad Jember - 

Sebagian orang ada yang berkata bahwa Mushalla adalah masjid, tapi bukan Masjid Jamik. Jadi, menurutnya masjid ada dua macam, yang digunakan shalat Jumat disebut Masjid Jamik dan yang tidak digunakan shalat Jumat, yakni mushalla, disebut masjid biasa. Dulu pernah ada tamu dari timur tengah yang berkunjung ke sebuah pesantren yang keheranan mengapa ada bangunan masjid besar dan di dekatnya ada bangunan mirip masjid tapi kecil yang disebut mushalla. Baginya, mushalla tersebut adalah masjid juga sebab namanya saja mushalla alias tempat shalat.

Apa Bedanya Musholla dan Masjid?

Perkataan tersebut tidak akurat.Masjid memang ada dua, ada yang Jamik (digunakan shalat Jumat) dan  ada yang biasa. Namun bukan berarti mushalla selalu berstatus masjid. Status masjid ini tidak sesederhana tempat shalat belaka tetapi area yang kepemilikannya diserahkan kepada Allah (sehingga tidak dapat dijual) yang di dalamnya sah untuk beri'tikaf dan orang junub haram memasukinya. Sebuah mushalla selama tidak disertai lafaz yang jelas dari pemiliknya bahwa ia menjadikannya sebagai wakaf untuk tempat beri'tikaf, maka statusnya tetap hak milik atau bukan masjid. Ia hanya sekedar tempat shalat biasa yang tidak berlaku hukum masjid di dalamnya.

Dalam Fathul Mu'in dijelaskan:

وعلم مما مر أن الوقف لا يصح إلا بلفظ، ولا يأتي فيه خلاف المعاطاة.. فلو بنى بناء علي هيئة مسجد وأذن في إقامة الصلاة فيه: لم يخرج بذلك عن ملكه، كما إذا جعل مكانا على هيئة المقبرة، وأذن في الدفن - بخلاف ما لو أذن في الاعتكاف فيه فإنه يصير بذلك مسجدا.

""Dan telah diketahui dari uraian yang telah lalu bahwa wakaf tidak sah kecuali dengan lafaz perwakafan, dan tidak berlaku dalam hal ini perbedaan pendapat tentang serah terima tanpa lafaz. Maka, seandainya seseorang membangun bangunan dengan bentuk seperti masjid, lalu mengizinkan untuk didirikan salat di dalamnya, hal itu tidak mengeluarkan bangunan tersebut dari kepemilikannya (belum menjadi wakaf), sebagaimana jika ia menjadikan suatu tempat berbentuk seperti kuburan dan mengizinkan untuk dilakukan penguburan di dalamnya. Berbeda halnya apabila ia mengizinkan untuk beri'tikaf di dalamnya, maka dengan itu tempat tersebut menjadi masjid." 

Dalam I'anah at Thalibin juga dijelaskan bahwa titik pembeda antara masjid dan mushalla bukan tempat shalat tapi tempat i'tikaf:

قال في التحفة: ويوجه ما فيه بأن الإعتكاف يستلزم المسجدية، بخلاف نحو الصلاة

'Telah berkata dalam Tuhfah: Keterangan tersebut apat dimaknai bahwa i‘tikaf berkonsekuensi adanya status kemasjidan (masjidiyyah), berbeda dengan semisal salat."

Ini juga menjawab mengapa di banyak pesantren selain ada masjid masih ada mushalla. Demikian pula di beberapa daerah di mana di sekitar masjid ada mushalla-mushalla kecil. Alasannya sebab mushalla tersebut sebenarnya tempat pribadi yang multifungsi yang lantainya disucikan. Karena suci, maka boleh digunakan sebagai tempat shalat, meskipun rugi besar shalat di sana kalau di dekatnya ada masjid. Namun karena bukan masjid, maka boleh digunakan sebagai tempat menerima tamu umum yang barangkali pakaiannya najis, boleh dijadikan tempat makan saat acara yang biasanya menyisakan sampah setelah itu, boleh merokok di dalamnya, orang junub dan haid boleh masuk, boleh dibongkar kapan saja dan boleh diwariskan atau dijual. Dalam kasus pesantren, keberadaan mushalla penting untuk tempat mengaji kitab bagi santri haid. Ini semua tidak boleh dilakukan di masjid. 

Tentu saja, status bukan masjid ini membuat mushalla tidak sah untuk dijadikan tempat i'tikaf. Beda kalau mushalla tersebut oleh pemiliknya diniatkan sebagai masjid atau tempat i'tikaf, maka statusnya adalah masjid meskipun namanya tetap disebut mushalla.

Semoga bermanfaat.

Ketika I'tidal Membaca Sami'allahu liman Hamidah atau Robbana Lakal Hamdu?

Pertanyaan: Assalamu 'alaikum para mu'allim dan para member PIIS-KTB yang di rahmati Allah.Mohon bimbingannya dan Minta pencerahannya. Sering saya jumpai saat sholat berjama'ah, banyak ma'mum yang ketika berdiri dari ruku' menuju (i'tidal) tidak membaca "SAMI'ALLOHU LIMAN HAMIDAH" melainkan langsung membaca "ROBBANAA WALAKALHAMDU dst..."yang ingin saya tanyakan"-Apakah membaca "SAMI'ALLOHU LIMAN HAMIDAH" tetap sunnah bagi ma'mum?-manakah yang lebih afdhol bagi ma'mum, membaca "SAMI'ALLOHU LIMAN HAMIDAH?Atau langsung "ROBBANAA LAKALHAMDU dst...?Mohon jawabannya, sekaligus kalau berkenan dengan ibarotnya. Sebelum nya saya ucapkan syukran ktsiir...!!!

Ketika I'tidal Membaca Sami'allahu liman Hamidah atau Robbana Lakal Hamdu


JAWABAN :

> Mahmud Al-Martapura

Dalam kitab hawi imam mawardi,

وقال أبو حنيفة يختص الإمام بقول سمع الله لمن حمده والمأموم بقول ربنا ولك الحمداستدلالا برواية سمي عن أبي صالح عن أبي هريرة أن رسول الله قال : إذا قال الإمام سمع الله لمن حمده فقولوا اللهم ربنا ولك الحمد

Menurut syafi'iyah, sunnah dua dua nya membaca dua-dua nya, Tapi yang afdholnya sami'allah liman hamidah itu di pisah dengan rabbana walakalhamdu, karena alasan intiqal..

> Masaji Antoro

Wa'alaikumsalam. Bacaan SAMI'A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU menurut kitab-kitab kalangan SYAFI'IYYAH disunahkan bagi imam, makmum, muballigh ataupun orang yang sedang shalat sendirian...

وَيُسْتَحَبُّ له أَنْ يَرْفَعَ يَدَيْهِ كما سَبَقَ في تَكْبِيرِ الْإِحْرَامِ حين يَرْفَعُ رَأْسَهُ من الرُّكُوعِ بِأَنْ يَكُونَ ابْتِدَاءُ رَفْعِهِمَا مع ابْتِدَاءِ رَفْعِهِ قَائِلًا في ارْتِفَاعِهِ لِلِاعْتِدَالِ سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لِلِاتِّبَاعِ رَوَاهُ الشَّيْخَانِ مع خَبَرِ صَلُّوا كما رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَسَوَاءٌ في ذلك الْإِمَامُ وَغَيْرُهُ وَأَمَّا خَبَرُ إذَا قال سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَك الْحَمْدُ فَمَعْنَاهُ قُولُوا ذلك مع ما عَلِمْتُمُوهُ من سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لِعِلْمِهِمْ بِقَوْلِهِ صَلُّوا كما رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي مع قَاعِدَةِ التَّأَسِّي بِهِ مُطْلَقًا

“Dan disunahkan mengangkat kedua tangannya seperti saat takbiratul ihram saat ia mengangkat kepalanya dari rukuk, dalam artian awal mengangkat kedua tangannya berbarengan dengan awal mengangkat kepalanya seraya membaca ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ berdasarkan itba’ Nabi pada hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori Muslim ‘Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat shalatku’.Ketentuan diatas sama bagi seorang imam dan lainnya (makmum, orang yang shalat sendirian).

Sedang hadits ‘bila imam membaca ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ maka ucapkanlah oleh kalian ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’ artinya adalah ucapkanlah ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’ bersama dengan ucapan yang telah kalian ketahui yakni ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ sebab para sahabat telah mengetahui bacaan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dari shalat yang dikerjakan oleh nabi dengan kaidah taassy secara mutlak”. [ Asna al-Mathoolib I/158 ].

ويجهر الامام بسمع الله لمن حمده، ويسر بربنا لك الحمد ويسر غيره بهما.نعم المبلغ يجهر بما يجهر به الامام ويسر بما يسر به كما قاله في المجموع لانه ناقل

“Dan bagi imam bacalah dengan keras bacaan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dan bacalah dengan pelan bacaan ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’, sedang bagi selain imam (makmum, orang yang shalat sendirian) bacalah pelan keduanya”Hanya saja bagi seorang muballigh (perantara bacaan imam) bacalah keras bacaan yang dikeraskan imam dan bacalah pelan bacaan yang dipelankan oleh imam sebagaimana yang diterangkan dalam kitab al-majmuu’ karena kedudukannya sebagai pemindah bacaan dari imam”. [ Al-Iqnaa I/133 ].

ثم يرفع من ركوعه قائلا سمع الله لمن حمده ويرفع يديه حذم منكبيه فإذا اعتدل قائما قال ربنا لك الحمد ملء السموات وملء الأرض ما شئت من شيء اماما كان أو مأموما أو منفردا

Kemudian bangkitlah ia dari rukukmya seraya mengucapkan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dan angkatlah kedua tangaanya selaras dengan kedua bahunya, kemudian saat ia telah tegak nerdiri ucapkan ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU MIL-US SAMAAWAATI WA MIL-UL ARDHI WA MIL-U MAA SYI’TA MIN SYAIIN’ baik ia seorang imam, makmum ataupun shalat sendiri”. [ Iqnaa Li al-Mawardy I/39 ].

( و ) يسن لكل مصل ( التكبير للانتقال من ركن إلى آخر....( إلا في الاعتدال ) ولو لثاني قيام الكسوف ( فيقول ) إماما كان أو منفردا أو مأموما مبلغا أو غيره ( سمع الله لمن حمده ) للاتباع أي تقبل الله منه حمده ويحصل أصل السنة بقوله من حمد الله سمعه

“Disunahkan bagi setiap orang yang shalat membaca takbir pada perpindahan gerakan-gerakan yang terdapat pada satu rukun shalat pada gerakan lainnya......Kecuali saat ia i’tidal meskipun pada saat berdiri yang kedua sewaktu shalat gerhana, maka ucapkanlah ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ baik ia seorang imam, shalat sendirian, makmum, muballigh ataupun lainnya berdasarkan itba’ pada nabi dengan hadits “semoga Allah mendengar pujian darinya”.Dan kesunahan terdapatkan juga dengan membaca “MAN HAMIDAHU ALLAAHU, SAMI’AHUU’’. [ Al-Minhaj al-Qawiim I/201 ]. Wallaahu A'lamu Bis showaab.

> Muhammad Ahmad

وَأَمَّا خَبَرُ إذَا قال سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا رَبَّنَا لَك الْحَمْدُ فَمَعْنَاهُ قُولُوا ذلك مع ما عَلِمْتُمُوهُ من سمع اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ لِعِلْمِهِمْ بِقَوْلِهِ صَلُّوا كما رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي مع قَاعِدَةِ التَّأَسِّي بِهِ مُطْلَقًا

Sedang hadits ‘bila imam membaca ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ maka ucapkanlah oleh kalian ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’ artinya adalah ucapkanlah ‘RABBANAA LAKA AL-HAMDU’ bersama dengan ucapan yang telah kalian ketahui yakni ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ sebab para sahabat telah mengetahui bacaan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dari shalat yang dikerjakan oleh nabi dengan kaidah taassy secara mutlak”.

Fokus : sebab para sahabat telah mengetahui bacaan ‘SAMI’A ALLAAHU LIMAN HAMIDAHU’ dari shalat yang dikerjakan oleh nabi dengan kaidah taassy secara mutlak.

la'allashshawaab : sebab para sahabat telah mengetahui (bacaan SAMI'ALLAAHU LIMAN HAMIDAH) dengan sabda beliau SHALLUU KAMAA RA`ATUMUUNII USHALLII (shalatlah kamu sebagaimana kamu mengetahui aku shalat) serta kaidah TA`ASSII (menjadikan beliau sebagai uswah) secara mutlak . Wallaahu A'lam

Link asal : http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/416795411676606/

Bolehkah Mengambil Buah Tetangga yang Cabangnya Masuk ke Pekarangan Kita?

 Assalamuallaikum warohmatullah.. ma'af.. mau tanya : Saya punya pohon mangga yang ditanam pada halaman rumah. Pohon itu sangat subur dan buahnya banyak.. Cabang (pang) pohon tersebut masuk dalam kawasan tetangga saya dan juga masuk dalam jalan umum.

Boleh tidak hukumnya tetangga saya itu mengambil / memetik Buah mangga saya yang sudah masuk dalam kawasan halaman dia ?? dan Orang umum boleh tidak mengambil / memetik mangga saya yang sudah masuk dalam kawasan jalan umum ??


JAWABAN :

Wa'alaikumussalam. Tetangga dan orang umum tetap tidak boleh memetik buah pohon tersebut kecuali setelah mendapat izin dari pemilik pohon, karena buah-buahan yang menjalar keluar masih menjadi milik pemilik pohon tersebut.

> Abdurrahman As-syafi'i

HUKUM POHON YANG AKAR ATAU DAHANNYA MENJALAR KE PEKARANGAN ORANG LAIN.

Apabila ada pohon yang akar dan batangnya menjalai kepekarangan tetangga maka akar dan batangnya tetap kepunyaan pemilik pohon. Dan bila dirasa mengganggu maka tetangga harus lapor, dan atas laporan ini pemilik pohon wajib memotongnya, jika pemilik tidak mau maka pemilik pekarangan diperbolehkan memotongnya.

بغية المسترشدين ١٤٢

و لو انتشرت اغصان شجرة او عروقها الى هواء ملك الجار اجبر صاحبها على تحويلها فان لم يفعل فللجار تحويلها ثم قطعها ولو بلا اذنح حاكم كما فى التحفة و ان كانت قديمة بل لو كانت لهما مع الارض ................الى ان قال : و ان منعت الضوء عن الجار

Kalo dalam hukum negara demikian : Orang-orang yang hidup bertetangga tentulah mempunyai hak dan kewajiban masing-masing satu sama lain. Termasuk menyangkut dahan atau pohon yang mentiung / menjorok di pekarangan orang lain. Hal ini diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu tentang hak dan kewajiban antara pemilik-pemilik pekarangan yang satu sama lain bertetanggaan .

•Pasal 666 (2) KUHPerdata : Barangsiapa mengalami bahwa dahan-dahan pohon tetangganya mentiung di atas pekarangannya, berhak menuntut supaya dahan- dahan itu dipotongnya.

•Pasal 666 (3) KUHPerdata : Apabila akar-akar pohon tetangganya tumbuh dalam tanah pekarangannya, maka berhaklah ia memotongnya sendiri; dahan-dahan pun bolehlah ia memotongnya sendiri, jika tetangga setelahsatu kali ditegur, menolak memotongnya, dan asal ia sendiri tidak menginjak pekarangan si tetangga.

> Ulilalbab Hafas

Ibarot ini sudah jelas bahwa dahan tersebut milk orang yang punya pohon. Jadi buah yang masih ada di dahan juga nasih milik nya yang punya pohon.

و لو انتشرت اغصان شجرة او عروقها الى هواء ملك الجار اجبر صاحبها على تحويلها فان لم يفعل فللجار تحويلها ثم قطعها ولو بلاذن حاكما

Ini ibarat yang pas banget :

ني ، ولو وصل غصنه بشجرة غيره كانت ثمرة الغصن لمالكه وإن كان متعديا

> Abdurrofik Ingin Ridlo Robby

8 حاشية البجيرمى على المنهج ج : 3 ص :

وحاصل المعتمد فى الدكة والشجرة وحفر البئر أن الدكة يمنع منها ولو بفناء داره او دعامة لجداره سواء فى المسجد اوالطريق وان اتسع وانتفى الضرر وأذن الإمام وكانت لعموم المسلمين وان الشجرة فى الطريق كذلك. اهـ

M Khamim

Mengambil buah yang jatuh dari pohon milik orang lain, baik untuk dimakan atau dijual, hukumnya boleh dan halal jika kita yakin bahwa pemiliknya sudah tidak memperdulikan lagi, atau diketahui bahwa pemiliknya sudah rida dan rela, dan atau sudah menjadi kebiasaan masyarakat bahwa jika ada buah jatuh dari pohon, maka boleh diambil oleh siapa pun.

Hal ini sebagaimana telah disebutkan dalam kitab Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj berikut;

وَيَحْرُمُ أَخْذُ ثَمَرٍ مُتَسَاقِطٍ إنْ حُوِّطَ عَلَيْهِ وَسَقَطَ دَاخِلَ الْجِدَارِ وَكَذَا إِنْ لَمْ يُحَوَّطْ عَلَيْهِ أَوْ سَقَطَ خَارِجَهُ لَكِنْ لَمْ تُعْتَدِ الْمُسَامَحَةُ بِأَخْذِهِ وَفِي الْمَجْمُوْعِ مَا سَقَطَ خَارِجَ الْجِدَارِ إنْ لَمْ تُعْتَدْ إِبَاحَتُهُ حَرُمَ وَإِنِ اعْتِيدَتْ حَلَّ

“Dan haram memungut buah-buahan yang telah jatuh bila pohonnya dipagari dan jatuh di dalam tembok pagar, atau jatuh di luar tembok pagar hanya saja tidak ada kebiasaan masyarakat dalam kebolehan mengambilnya. Dalam kitab al-Majmu’ disebutkan bahwa ‘Benda yang jatuh di luar tembok pagar bila tidak umum kebolehan mengambilnya di masyarakat, maka haram memungutnya. Namun jika umum kebolehan mengambilnya, maka hukumnya halal.”

Dalam kitab Asnal Mathalib juga disebutkan sebagai berikut,

فَلَوْ جَرَتِ الْعَادَةُ بِأَكْلِ مَا تَسَاقَطَ مِنْهَا جَازَ إِجْرَاءً لَهَا مَجْرَى اْلإِبَاحَةِ لِحُصُوْلِ الظَّنِّ بِهَا

“Jika sudah biasa dengan memakan buah yang jatuh dari pohon, maka boleh (diambil dan dimakan) karena sudah berlaku hukum ibahah atau kebolehan karena sudah ada dugaan (kerelaan) dengan buah yang jatuh tersebut (dari pemiliknya).”

Namun, jika sebaliknya, yaitu diyakini bahwa pemiliknya tidak rela, atau dalam masyarakat tidak ada kebiasaan mengambil buah yang jatuh, atau buah yang jatuh masih di area dalam pagar pohon tersebut, maka tidak boleh mengambil buah tersebut.

Wallaahu A'lamu Bish Showaab

LINK ASAL : http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/570137713009041/

Arti Makna Lubang Jauf dalam Fiqih Puasa Mazhab Syafi'i (Ustadz Muafa dan Ustadz Ma'ruf Khozin)

Batal Puasa Karena Sengaja Memasukkan Benda ke Dalam 'Jauf', Dulu dan Saat Ini 

Oleh: Ustadz Ma'ruf Khozin 

Dulu, arti Jauf adalah bagian dalam perut yang memproses makanan atau pencernaan. Lubang yang mengarah pada Jauf adalah mulut, hidung, telinga dan anus.

Sehingga jika ada benda yang masuk ke tubuh tidak melalui pencernaan maka tidak batal, seperti penjelasan ulama Mazhab Syafii:

ولا يضر تشرب المسام بالدهن والكحل والاغتسال

“Puasa tidak batal karena sesuatu yang terserap melalui pori-pori seperti minyak, celak dan air saat mandi” (Busyra Al-Karim, 1/550)

1. Obat Mata

Syekh Al-Mahalli menjelaskan terkait pemakaian celak yang fungsinya saat ini seperti obat tetes mata:

َلاَ يَضُرُّ اْلاِكْتِحَالُ وَاِنْ وُجِدَ طَعْمُهُ اَىِ الْكُحْلِ بِحَلْقِهِ لاَنَّهُ لاَ يَنْفُذُ مِنَ الْعَيْنِ اِلَى الْحَلْقِ وَالْوَاصِلُ اِلَيْهِ مِنَ الْمَسَامِّ 

"Boleh memakai celak sekalipun ditemukan rasanya pada tenggorokan, karena celak tidak dapat tembus dari mata sampai tenggorokan, dan sesuatu yang sampai ke tenggorokan itu adalah melalui jalan pori-pori." (al-Mahally juz 2 hal 56) 

Hal ini didasarkan pada riwayat Sahabat:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّهُ كَانَ يَكْتَحِلُ وَهُوَ صَائِمٌ.

Anas bin Malik memakai celak saat puasa (Abu Dawud)

2. Suntikan 

Imam An-Nawawi menjelaskan:

 لو أوصل الدواء إلى داخل لحم الساق، أو غرز فيه السكين فوصلت مخه، لم يفطر، لأنه ‌لم ‌يعد ‌عضوا ‌مجوفا. 

“Jika seseorang memasukkan obat ke bagian dalam daging betisnya, atau memasukkan pisau lalu pisau itu sampai pada sumsumnya, maka hal itu tidak batal puasanya, karena hal itu bukan termasuk rongga tubuh.” (Raudhat 1/664)

Jarum yang masuk ke tubuh tidak membatalkan puasa didasarkan pada hadis:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- احْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ مُحْرِمٌ

Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi melakukan bekam saat puasa dan ihram (HR Abu Dawud)

Bagaimana dengan infus? Saya sependapat dengan penjelasan berikut:

وقول وفيه التفصيل -وهو الأصح- إن كانت مغذية فتبطل الصوم 

Dalam satu pendapat ada perincian -ini pendapat yang lebih kuat-. Bila suntikan mengandung bahan yang mengenyangkan (di antara kandungan infus terdapat natrium) maka membatalkan puasa.

وإن كانت غير مغذية فتنظر ان كان في العروق المجوفة وهي الأوردة فتبطل . وإذا كان في العضل وهو غير المجوفة فلا تبطل 

Jika suntikan tidak mengenyangkan (berisi obat), maka dirinci; bila disuntik ke dalam pembuluh darah maka membatalkan puasa. Jika suntik dimasukkan dalam otot selain pembuluh darah maka tidak membatalkan puasa (At Taqrirat As Sadidah, 452). ***

Arti Makna Lubang Jauf dalam Fiqih Puasa Mazhab Syafi'i 

Oleh : Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M.R.Rozikin) 

Contoh penggunaan lafal jauf (الجوف) dalam pembahasan fikih puasa adalah kaidah yang disebutkan oleh al-Nawawī dalam kitab Rauḍatu al-Ṭālibīn berikut ini,

مِنَ الْمُفْطِرَاتِ دُخُولُ شَيْءٍ فِي جَوْفِهِ (روضة الطالبين وعمدة المفتين (2/ 356)

Artinya,

“Di antara hal-hal yang membatalkan puasa adalah masuknya sesuatu ke dalam jauf-nya”

Dalam kaidah di atas ditegaskan bahwa benda apapun (syai’un) yang masuk ke dalam jauf, maka membatalkan puasa. 


Syai’un (sesuatu) yang dimaksud dalam pernyataan di atas bersifat umum, tidak membedakan apakah yang bisa dimakan seperti nasi dan obat ataukah yang tidak bisa dimakan seperti kerikil dan  pisau. Jadi nasi, obat, kerikil, ataupun pisau jika masuk ke dalam jauf, maka batallah puasanya.  Lafal syai’un yang dipakai oleh al-Nawawī di sini oleh ulama-ulama Al-Syāfi‘iyyah yang lain diungkapkan dengan lafal ‘ain (العين)/benda konkrit. Dengan demikian sesuatu yang tidak termasuk ‘ain, seperti angin/bau atau rasa jika masuk ke dalam jauf, maka puasanya tidak batal.

Dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu yang masuk ke dalam jauf itu membatalkan puasa adalah aṡar Ibnu Abbās berikut ini,

وإِنَّما الفِطرُ ممّا دَخَلَ ولَيسَ ممّا خَرَجَ (السنن الكبرى للبيهقي ت التركي (9/ 5)

Artinya,

“Batalnya puasa itu hanyalah karena sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang keluar”

Dalam aṡar di atas cukup jelas dikatakan bahwa benda asing yang masuk bisa membatalkan puasa, sementara yang keluar dari tubuh (misalnya darah melalui pembekaman) itu tidak membatalkan puasa.

Hadis Laqīṭ bin Ṣabirah menguatkan ketentuan ini. Abū Dāwūd meriwayatkan,

عَنْ أَبِيهِ لَقِيطِ بْنِ صَبْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «بَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ صَائِمًا» سنن أبي داود (2/ 308)

Artinya,

“Dari Laqīṭ bin Ṣabirah beliau berkata, Rasulullah ﷺ   bersabda, ‘Bersungguh-sungguhlah saat ber-istinsyāq kecuali jika engkau berpuasa”

Dalam hadis di atas Rasulullah ﷺ memerintahkan agar bersungguh-sungguh (mubālagah) saat beristinsyāq (menghirup air melalui hidung). Tetapi Rasulullah ﷺ melarang mubālagah saat beristinsyāq dalam keadaan berpuasa. Hal ini memberi isyarat bahwa mubālagah  saat beristinsyāq dalam keadaan berpuasa berpotensi membatalkan puasa karena masuknya air ke dalam tubuh.

BATASAN JAUF

Pertanyaannya, “Apa sebenarnya pengertian jauf itu?” 

Jawaban pertanyaan ini adalah sebagai berikut.

Jauf itu bermakna RONGGA TUBUH (body cavity). Sebab, secara bahasa jauf itu bermakna khalā’ (rongga). Al-Fayyūmī berkata,

 الْجَوْفُ الْخَلَاءُ (المصباح المنير في غريب الشرح الكبير (1/ 115)

Artinya,

“Jauf bermakna rongga”

Secara medis, rongga tubuh manusia terbagi menjadi dua kelompok besar yakni ventral cavity (rongga perut) dan dorsal cavity (rongga punggung). Lebih spesifik lagi rongga dalam tubuh manusia ada beberapa macam yaitu cranial cavity (rongga tengkorak), spinal cavity (rongga tulang belakang), thoracic cavity (rongga dada), abdominal cavity (rongga abdomen), dan pelvic cavity (rongga panggul).

Inilah pendapat mu‘tamad mazhab al-Syāfi‘ī terkait definisi jauf. 

Sebenarnya di kalangan internal Al-Syāfi‘iyyah sendiri ada pendapat lain. Yakni membatasi definisi jauf pada organ tubuh  yang memiliki kemampuan mengubah zat yang masuk (baik makanan maupun obat) menjadi zat lain (fīhi quwwatun tuḥīlu al-wāṣil ilaihi min giżā’in au dawā’). Ini juga menjadi pendapat Ibnu al-Aṡīr dalam al-Nihāyah fī Garībi al-Ḥadīṡ wa al-Aṡar. Contoh organ seperti ini adalah bagian dalam otak (bāṭinu al-dimāg), perut (al-baṭn), usus (al-am‘ā’), dan kandung kencing (al-maṡānah). Tetapi pendapat mu‘tamad mazhab al-Syāfi‘ī tidak membedakan antara organ tubuh yang punya kemampuan mengubah zat yang masuk menjadi unsur lain maupun tidak.  Jadi, definisi jauf dalam pendapat mu‘tamad itu lebih luas. Keluasan definisi jauf ini akhirnya membuat mazhab al-Syāfi‘ī menjadi mazhab yang paling berhati-hati dalam urusan perkara yang membatalkan puasa.

Dalam kitab-kitab fikih mazhab al-Syāfi‘ī diberikan beberapa contoh kasus untuk memperjelas dan memberi batasan organ tubuh mana yang termasuk jauf dan mana yang tidak termasuk jauf.

• Kemaluan (al-farj) dan perut (al-baṭn)  termasuk jauf berdasarkan hadis bahwa yang paling banyak membuat orang mausk neraka adalah dua organ berrongga (ajwafāni) yakni perut dan kemaluan

• Saluran kencing (iḥlīl) termasuk jauf

• Bagian dalam tengkorak kepala (bāṭinu al-dimāg) termasuk jauf

• Usus (al-am‘ā’) termasuk jauf

• Kandung kemih (al-maṡānah) termasuk jauf

• Bagian dalam hidung yang melebihi khaisyūm (pangkal hidung) termasuk jauf

• Bagian dalam telinga termasuk jauf karena meskipun tidak ada saluran ke otak, tetapi ada saluran ke bagian dalam tengkorak.

• Kerongkongan (halq) termasuk jauf. Batasan paling luarnya adalah area yang terpakai saat melafalkan huruf ḥā’ (الحاء) atau khā’ (خ)

Otot tidak termasuk jauf.

Sumsum tidak termasuk jauf.

Mata bukan jauf karena tidak ada manfaż dari mata ke kerongkongan

PENERAPAN DALAM FIKIH PUASA

Oleh karena kaidahnya berbunyi, “Segala sesuatu yang masuk ke dalalam jauf mambatalkan puasa” maka kita bisa mempraktekkannya pada sejumlah contoh kasus berikut ini,

• Ada ingus yang keluar sampai ke mengalir ke bibir, kemudian dijilat dan terasa sampai area yang dipakai  melafalkan khā’, maka batallah puasanya karena ingus dimasukkan ke dalam jauf.

• Vaksinasi polio jenis OPV membatalkan puasa dalam mazhab al-Syāfi‘ī, karena vaksinasi ini dilakukan dengan cara meneteskan vaksin ke dalam mulut dan harus ditelan. Jadi, ada benda asing yang masuk ke dalam jauf melalui mulut.

• Di perut ada luka, lalu diberi obat lalu obat tersebut masuk ke abdominal cavity, maka batallah puasanya

• Di kepala ada luka lalu diberi obat, kemudian masuk ke cranial cavity, maka batal puasanya

• Menusuk tubuh sendiri dengan pisau hingga tembus ke  kandung kemih, maka batallah puasanya.

Tetapi,

• Jika obat dimasukkan ke dalam daging betis, maka tidak batal puasa karena daging betis bukan jauf

• Vaksinasi untuk covid-19 tidak membatalkan puasa karena teknik vaksinasinya memakai suntikan pada lengan yang termasuk jenis injeksi intramuscular, sehingga vaksin dimasukkan pada otot, bukan jauf.

Hanya saja, batalnya puasa karena benda asing yang masuk ke dalam jauf ini  diikat 3 syarat,

Pertama: Benda asing tersebut dimasukkan dengan sengaja

Kedua: Masuknya benda asing tersebut melalui saluran/”jendela” terbuka (manfaż maftūḥ) baik alami (seperti mulut, hidung, telinga,  kubul, dubur ) maupun rekayasa (seperti luka). Pori-pori kulit tidak masuk definisi manfaż maftūḥ. 

Ketiga: Saat memasukkan benda asing tersebut dalam kondisi ingat sedang berpuasa. 

Wallahua'lam 

اللهم ارزقنا التقوى بالصيام

***


Sumbangan Karpet untuk Masjid Al-Ikhlas GML

Masjid Al-Ikhlas GML mendapatkan sumbangan karpet. Pertama karpet untuk jamaah atas nama almarhum Bapak M Tamjis, almarhum Bapak Sarjono,  dan almarhumah Ibu Mazziah. Kedua karpet untuk imam, sumbagan dari hamba Allah.

Sumbangan Karpet untuk Masjid Al-Ikhlas GML

Sumbangan Karpet untuk Masjid Al-Ikhlas GML

Sumbangan Karpet untuk Masjid Al-Ikhlas GML


Bolehkah Membaca Doa Sebelum Adzan Subhannallahi Walhamdulillah?

 Assalamu'alaikum

Bacaan yang biasanya diucapkan sebelum adzan ( seperti dibawah ini ) adakah rujukannya di kitab-kitab salaf ?

Doa Sebelum Adzan

ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺍﻟﻠّـﻪِ ﻭَﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠّﻪِ ﻭَﻵ ﺍِﻟﻪَ ﺍِﻝَّ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻭَﺍﻟﻠّﻪُ ﺍﻛْﺒَﺮ , ﻭَﻵ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻵ ﻗٌﻮّﺓَ ﺍِﻟّﺎ ﺑِﺂﻟﻠّﻪِ ﺍﻟﻌَﻠِﺌﻰُّ ﺍﻟﻌَﻈِﻴْﻢِ , ﺍﻟﻠﻬُﻢَّ ﺻَﻞّ ﻭﺳَﻠِﻢْ ﻋَﻠﻰ ﺳَﻴِﺪِﻧَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﺍﻟﻠّﻪُ ﻳَﺎ ﻛَﺮِﻳْﻢُ .

Subhanallah walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar, Walahaulawala Quwwata illabilla hil ‘aliyul ‘azhim, allahumma shalli wa sallim ‘ala sayyidinâ muhammad Allahu Ya Kariim.

Terimakasih

Bolehkah Membaca Doa Sebelum Adzan Subhannallahi Walhamdulillah

وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته

sudah menjadi tradisi di desa-desa sebelum adzan membaca :👇

سبحان الله والحمد لله ولااله الا الله والله اكبر ولاحول ولاقوة الا بالله العلي العظيم اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل سيدنا محمد الله ياكريم

Pertanyaan :

a. Apakah ada nash syar’i tentang adat itu ?

b. Bagaimana hukum membaca lafadz itu?

Jawaban :

a. Tidak ada nash syar’i ( keterangan yg ada dalam al-Qur’an atau hadits dan apa-apa yg ditetapkan imam mujtahid.

b. Membaca lafadz tersebut adalah mubah. Akan tetapi bila bacaan tersebut menimbulkan prasangka orang awam bahwa hal itu sunnah atau wajib maka hukumnya makruh

Referensi :

Ahkamul fuqoha hal 95

احكام الفقهاء ص 95

وفي الدر النضيد لشيخ الإسلام الهروي ما نصه كل مباح يؤدي الى زعم الجهال بسنة او وجوبه فهو مكروه

I’anatuth tholibin

إعانة الطالبين - (ج 1 / ص 313)

وقال ابن حجر في فتح المبين، في شرح قوله (ص): من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد، ما نصه: قال الشافعي رضي الله عنه: ما أحدث وخالف كتابا أو سنة أو إجماعا أو أثرا فهو البدعة الضالة، وما أحدث من الخير ولم يخالف شيئا من ذلك فهو البدعة المحمودة


Kalau cuma membaca shalawat ada sebagian ulama' yang menghukumi sunnah yaitu Imam Al Bakry
مسالة ب) تسن الصلاة على النبي بعد الإقامة كالأذان ولا تتعين لها صيغة وقد استنبط ابن حجر تصلية ستأتي في الجمعة قال هي افضل الكيفيات على الاطلاق فينبغي الاتيان بها بعدهما ثم اللهم رب هذه الدعوة التامة الخ ونقل عن النووي واعتمده ابن زياد أنه يسن الاتيان بها قبل الاقامة وعن البكري سنها قبلهما
(بغية المسترشدين ص : 60)

Assalamu'alaikum
1. apa hukum membaca tasbih, tahmid, tahlil sebelum adzan ?
2. apa hukum baca shalawat oleh muadzzin di saat khatib duduk di antara dua khutbah ? [Anang Esbe].
JAWABAN :
Wa'alaikumussalaam.
1. Membaca sholawat sunat setelah iqomat, begitu juga sesudah adzan dengan shighot apa saja. Dan Imam Nawawi juga menyatakan sunah sebelum iqomah. Pendapat ini dikuatkan Imam Ibnu Ziyad. Menurut mayoritas para ulama sholawat yang dibaca sebelum adzan bukan merupakan kesunahan, dan tidak boleh bagi kita untuk meyakini kesunahannya. Namun beda halnya menurut Imam Bakri yang menyatakan sunah.
- Referensi :
مسالة ب) تسن الصلاة على النبي بعد الإقامة كالأذان ولا تتعين لها صيغة وقد استنبط ابن حجر تصلية ستأتي في الجمعة قال هي افضل الكيفيات على الاطلاق فينبغي الاتيان بها بعدهما ثم اللهم رب هذه الدعوة التامة الخ ونقل عن النووي واعتمده ابن زياد أنه يسن الاتيان بها قبل الاقامة وعن البكري سنها قبلهما (بغية المسترشدين ص60
وتسن الصلاة على النبي ص م قبل الإقامة على ما قاله النووي في شرح الوسيط واعتمده شيخنا ابن الزياد أما قبل الأذان فلم أر في ذلك شيأ وقال الشيخ الكبير البكرى انها تسن قبلها ولايسن محمد رسول الله بعدهما (فتح المعين ص 31)
( وسئل ) - نفع الله بعلومه- الى ان قال -وهل الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم مسنونة قبل الأذان كما هي بعده ، أو لا وهل الإقامة كالأذان في سنها ، أو لا وهل يسن أن يقال قبل الصلاة على النبي صلى الله عليه وسلم بعد الأذان : محمد رسول الله ، أو لا وهل ينهى عنه وعن الصلاة على النبي عليه الصلاة والسلام قبل الأذان ، أو لا ؟ ( فأجاب ) بقوله الى ان قال -ولم نر في شيء منها التعرض للصلاة عليه قبل الأذان ، ولا إلى محمد رسول الله بعده ولم نر أيضا في كلام أئمتنا تعرضا لذلك أيضا ، فحينئذ كل واحد من هذين ليس بسنة في محله المذكور فيه ، فمن أتى بواحد منهما في ذلك معتقدا سنيته في ذلك المحل المخصوص نهي عنه ومنع منه ؛ لأنه تشريع بغير دليل ؛ ومن شرع بلا دليل يزجر عن ذلك وينهى عنه . (الفتاوى الفقهية الكبرى - (ج 1 / ص 467
- Mughni al Muhtaj 1 halaman 557 :
(ويكون جلوسه بينهما) أي بين الخطبتين (نحو سورة الإخلاص) استحباباً ، وقيل إيجاباً، وقيل يقرأ فيها أو يذكر أو يسكت لم يتعرضوا لـه؛ لكن في صحيح ابن حبان: «أنه كان يقرأ فيها» وقال القاضي : إن الدعاء فيها مستجاب.
ويسنُّ أن يختم الخطبة الثانية بقولـه: «أستغفر اللـه لي ولكم».
- Fatawi al Kubro 1 252 :
)وَسُئِلَ) نَفَعَ اللَّهُ بِهِ عَمَّا إذَا جَلَسَ الْخَطِيبُ بَيْنَ الْخُطْبَتَيْنِ هَلْ يُسْتَحَبُّ لَهُ فِي جُلُوسِهِ دُعَاءٌ أَوْ قِرَاءَةٌ أَوْ لا وَهَلْ يُسَنُّ لِلْحَاضِرِينَ. حِينَئِذٍ أَنْ يَشْتَغِلُوا بِقِرَاءَةٍ أَوْ دُعَاءٍ أَوْ صَلاةٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَفْعِ الصَّوْتِ أَوْ لا ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ : ذُكِرَ فِي الْعُبَابِ أَنَّهُ يُسَنُّ لَهُ قِرَاءَةُ سُورَةِ الإِخْلاصِ وَقُلْتُ فِي شَرْحِهِ لَمْ أَرَ مَنْ تَعَرَّضَ لِنَدْبِهَا بِخُصُوصِهَا فِيهِ وَيُوَجَّهُ بِأَنَّ السُّنَّةَ قِرَاءَةُ شَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ فِيهِ كَمَا يَدُلُّ عَلَيْهِ رِوَايَةُ ابْنِ حِبَّانَ كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي جُلُوسِهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ السُّنَّةَ ذَلِكَ فَهِيَ أَوْلَى مِنْ غَيْرِهَا لِمَزِيدِ ثَوَابِهَا وَفَضَائِلِهَا وَخُصُوصِيَّاتِهَا قَالَ الْقَاضِي وَالدُّعَاءُ فِي هَذِهِ الْجِلْسَةِ مُسْتَجَابٌ انْتَهَتْ عِبَارَةُ الشَّرْحِ الْمَذْكُورِ وَيُؤْخَذُ مِمَّا ذُكِرَ عَنْ الْقَاضِي أَنَّ السُّنَّةَ لِلْحَاضِرِينَ الاشْتِغَالُ وَقْتَ هَذِهِ الْجِلْسَةِ بِالدُّعَاءِ لِمَا تَقَرَّرَ أَنَّهُ مُسْتَجَابٌ حِينَئِذٍ وَإِذَا اشْتَغَلُوا بِالدُّعَاءِ فَالأَوْلَى أَنْ يَكُونَ سِرًّا لِمَا فِي الْجَهْرِ مِنْ التَّشْوِيشِ عَلَى بَعْضِهِمْ وَلأَنَّ الإِسْرَارَ هُوَ الأَفْضَلُ فِي الدُّعَاءِ إلا لِعَارِضٍ.

https://www.piss-ktb.com/2012/08/1765-hukum-membaca-sholawat-sebelum.html